5

168 10 3
                                    

Aga pov

Aku terbaring di salah satu sofa panjang berwarna merah. Hari ini sudah cukup untuk semua masalah di kantor. Keadaan langit sangat indah, menurut ku. Gelap, tanpa bintang, dan penuh dengan awan. Mata ku terpejam, berusaha untuk merelaksasi kan semua otot yang telah banyak bekerja.

Terlintas bayangan wajah seorang wanita. Senyuman nya. Lambaian tangan kecil. Wajah pucat yang tampak bergembira. Bahkan rambutnya yang tersibak tanpa sengaja.

Segera ketika kabut memudar di dalam otak ku, kepala ku menggeleng keras "Ahh aku pasti terlalu banyak menonton film horor."

Posisi ku terduduk secara spontan. Aku bangkit dan berjalan menuju kulkas. Mengambil sebotol air dingin. Meneguknya dan meletakkan nya kembali di kulkas. Aku memutuskan untuk mandi air dingin, menjernihkan pikiran ku yang terus memikirkan gadis itu.

Baru saja selesai mandi hpku bergetar. Aku menuju ranjang dan mengangkatnya.

"Halo pa?"

"Besok kamu senggang kan? Temani papa makan ya? Ada teman papa yang mau bertemu denganmu," ucap papa dari ujung sana.

"Siapa pa?"

"Sahabat papa dari Paris. Bisa kan? Oke besok kamu datang saat lunch," putus papa tanpa mendengar jawaban ku lagi. Beginilah papa, orang nya memang selalu semau hatinya. Mana ada orang yang bisa membantah perkataannya, termasuk aku.

Kuletakkan lagi hpku di atas ranjang. Penglihatanku menangkap bayangan bulan di atas sana. Langit sudah bersih terganti dengan taburan bintang juga bulan purnama.

Aku ingat sekali, dulu kami selain menyukai pantai, kami juga menyukai langit saat malam. Dia yang selalu menyuruhku memandang langit sejenak, dia bilang itu bisa menenangkan pikiran kita. Dan hal itu sekarang sudah menjadi kebiasaanku.

Rasa rindu yang tiba-tiba datang segera ku tepis, mengingat perbuatannya. Aku pun tak mau berlama-lama memandangi langit yang malah membuatku semakin sakit.

-----

Mobilku memasuki kawasan Jimbaran tempat papa sudah menunggu. Aku mencari tempat parkir, kemudian turun dari mobil. Pelayan membawaku masuk setelah aku menyebutkan pesanan meja atas nama beliau.

Disana sudah ada dua orang lelaki paruh baya. Papa melihatku dan segera memberitahu temannya. Pria berwajah bule itu tersenyum melihat kedatanganku. Aku menjabat tangannya yang terulur. Papa membuka suara setelah aku memesan pada pelayan.

"Aga, ini Mr. Cliton. Perusahaannya mau bekerjasama dengan kita," ucap papa.

"Ya, itu benar. Dengan perkembangan Pradhita property yang telah meluas hingga luar negeri, membuat saya tertarik untuk berinvestasi disana," jelasnya padaku. Aku diam sesaat tapi langsung kubalas dengan anggukan.

Papa tersenyum menanggapi responku. Wajar lah, biasanya aku tak bisa bekerja sama dengan orang luar. Aku lebih percaya dengan orang pribumi, walaupun aku sendiri blasteran.

Siang itu kuhabiskan dengan ngobrol seputar bisnis. Selepas makan aku izin kembali ke kantor. Aku menjabat kembali Mr. Cliton dan sepakat bertemu kembali, untuk bicara soal kontrak kerja.

Aku masuk ke mobil. Sebelum pergi aku membuat panggilan telpon untuk Deon. Menyuruhnya datang ke cafe tempat biasa kami nongkrong bukanlah hal sulit. Terlebih lagi aku sebagai atasan yang perintahnya tak bisa ia abaikan.

Selang setengah jam aku pun sampai. Kakiku melangkah ke dalam cafe yang disambut senyum dari seorang Deon Wijaya. Dia bisa sampai lebih dulu karna jarak kantor dan cafe ini tak terlalu jauh.

"Jadi apa yang begitu penting, sampai kau menyuruhku membolos, hmm?" tanyanya saat aku duduk.

"Aku cuma mau minum secangkir black coffe. Apa tidak boleh?" jawabku dengan nada memelas.

Deon menghela napasnya, "tidak salah, tapi kau kan bisa sendiri. Pekerjaan ku masih banyak, wahai tuan Aga yang terhormat."

Aku tak menanggapinya, mataku sibuk memandang keluar jendela. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Sejak aku mengantar Aira waktu itu, bayang dirinya selalu hadir sampai ke mimpi sekalipun.

"Aga!" panggilan Deon membawaku kembali. Deon menatap aneh padaku.

"Apa yang sedang kau pikirkan, bro?" Aku bimbang antara memberitahu nya atau tidak. Akhirnya aku hanya menggeleng. Ya, belum saatnya aku menceritakan ini, aku juga masih belum siap untuk membuka hati.

Deon masih menatapku aneh, walaupun aku sudah bilang tidak ada apa-apa. Tapi sahabatku ini memang tau betul bagaimana aku. Walaupun dia bisa memaksa untuk aku membuka mulut, tapi dia tak melakukannya.

-----

Author pov

Alunan keras lagu upbeat membuat orang berjoget mengikuti hentakan lagu. Mereka tak ada capeknya, padahal malam sudah hampir berganti subuh. Disana seorang perempuan tengah berpesta ria bersama teman-temannya.

Dentingan gelas berbunyi menandakan mereka akan meneguk lagi. Perempuan itu tak peduli dengan keadaan sekitarnya, tak peduli walaupun dia sudah mabuk dan juga tak peduli ada pria yang melecehkan dirinya.

Dia tidak bisa dibilang dari keluarga kaya raya, tapi uang pemberian dari mantanya lah yang membuatnya bisa hura-hura seperti ini. Semuanya bisa ia lakukan jika ia punya uang. Baginya uang sangatlah penting, dia sudah dibutakan oleh kekuatan dari barang itu.

"Eh, mana cowok lo yang kemaren?" Tanya wanita berambut pendek.

Julia menoleh lalu berucap,"dia masih ada urusan. Lo tau lah kan cowok gue itu pewaris dari Pradhita group."

"Tapi gue denger lo ama dia uda putus. Beneran ya?"

"Siapa bilang!! Gue sama Aga masih pacaran, sirik aja yang buat gosip," Julia tertawa hambar. Teman-temannya hanya saling pandang, lalu menggidikkan bahu mereka.

Mereka pun melanjutkan minum, berjoget hingga pagi hari. Julia benar-benar sudah menjadi wanita nakal, dia telah kehilangan akal sehatnya karna perlakuan Aga juga.

Dia menyetop taksi dan pulang ke hotelnya. Supir taksi melirik-lirik ke arahnya karna penampilan Julia. Supir itu juga yakin kalau bule ini sudah mabuk berat. Mereka pun sampai, kemudian julia mengeluarkan 2 lembar uang seratus ribuan.
Julia masuk ke kamar hotelnya dan tak sadarkan diri di atas ranjang. Karna kepalanya sudah sangat pusing dari tadi.

-----

Aira masih terduduk didepan komputer kantornya. Dia tak sabar untuk segera pulang, walaupun waktu masih pukul 10 pagi. Orang tua nya akan berkunjung hari ini. Dia sangat merindukan mereka yang sudah 6 bulan tak bertemu.

Dengan semangat 45, Aira lebih bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tibalah waktu makan siang, ia dan Ayu pergi ke warung depan kantor untuk mengisi perut lapar mereka.

Ayu yang melihat Aira lebih bersemangat hari ini pun bertanya ada apa gerangan.

"Hari ini ibu datang yu!! Gue uda gak sabar, kangen banget nih gue," cerita Aira yang kelewat semangat.

"Gue dibawain oleh-oleh gak?" celetuk Ayu.

"Mungkin," balas Aira dengan senyum jail. Ayu membalasnya dengan memasang wajah cemberut, dan mendapat tertawaan dari Aira.

Piring mereka telah kosong dan keduanya hendak kembali ke kantor. Tangan Aira menekan lift, Ayu berdiri disamping nya. *ting* pintu lift terbuka dan muncul seseorang yang membuat mata Aira membelalak sekaligus membuat bibirnya mengulas senyum.

Tapi hal itu tak dibalas oleh pria disana. Dia keluar dari lift melewati Aira, yang masih diam membeku. Aira reflek memanggil nama pria itu.

"Aga." Tapi tak membuat pria itu berhenti. Aira yang geram pun mengejarnya.

"Aga," panggilnya lagi sambil menahan tangan pria itu, membuat orang-orang yang ada disana menoleh seketika.

Aira yang berharap mendapat respon baik, mungkin harus mengubur harapan itu dalam-dalam. Tak disangka ucapan Aga membuat Aira terkejut setengah mati, satu kata yang tepat menusuk hatinya, satu kata yang membuat hatinya tergores.

#bersambung

Hai-haii, ni chapter 5 nya. Gimana??? Sorry ya kalau banyak typo bertebaran.. oke tinggalkan vote dan comment nya yaa..

Salam, FAS

Fall Like RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang