14

48 2 0
                                    

Aira pov

Subuhnya seperti yang sudah aku rencanakan, aku duduk di kursi teras menunggunya. Embun-embun pagi masih terlihat jelas di mataku. Suasana masih gelap, hawa dingin juga masih menyelimuti kulitku. Sebenarnya aku kurang yakin Aga bakalan datang.

Tapi kalau benar dia datang, aku sudah menyiapkan beberapa pekerjaan untuknya. Sederhana saja, mulai dari menyapu dan mengepel, juga menyiram tanaman. Aku rasa itu permulaan yang bagus.

Aku terkejut mendengar suara mobil mendekat dan berhenti tepat di depan rumah. Aga keluar dari mobilnya dengan muka yang masih setengah sadar. Aku berani bertaruh dia belum cuci muka sama sekali. Bayangkan rambutnya masih berantakan dan dia hanya memakai baju kaos dengan celana training. Tapi sama sekali tidak buruk, ia mungkin punya kemampuan membuat semua baju terlihat bagus padanya.

"Well, ternyata kau orang yang menepati janji ya. Atau juga kau sangat takut aku menambah masa hukumanmu?" kataku menggodanya.

"Diam kau," sahutnya sambil menguap.

"Aku uda nyiapin tugas pertama. Ikuti aku." Aga pun dengan langkah gontai mengekori ku ke pekarangan belakang. Aku mengambil ember kosong dekat pot bunga mawar. Aga hanya melihat ember ditanganku tanpa mau mengambilnya, padahal sudah ku sodorkan padanya.

"Tugas mu adalah menyiram semua tanaman disini." Pupil matanya melebar dan kini sudah sadar sepenuhnya.

"Hah? Ogah, masa kau menyuruhku ngelakuin hal feminim begitu?" sergahnya.

"Siapa bilang? Ayahku sering kok nyiramin tanaman ibu dirumah."

"Ya kali, aku disamain dengan orang tua, beda lah," katanya masih tak mau kalah.

"Apa bedanya sih, kau kan juga laki-laki," tegasku.

"Udahlah. Lebih cepet kau kerja, lebih cepet kau selesai." Ember yang sedari tadi kupegang, aku taruh di samping kakinya. Kemudian diriku melenggang masuk, meninggalkan Aga yang masih terbengong disana.

-----

"Udah selesai. Aku mau pulang sekarang." Aku menoleh ke samping kanan, mendapati Aga yang sedikit berkeringat.

"Tunggu!" Aku mendorong tubuh dari kursi lalu mengambil sapu dan sekop di pelantaran dapur.

"Nih, sekarang kau sapu semua sampai bersih."

"What?! Are you crazy?!"

"Habis nyapu kau juga harus nge-pel."

"No! Aku sudah menyiram tanaman bodoh mu itu dan sekarang kau menyuruhku menyapu? Aku menolak," katanya keras kepala.

"It's okay. Berarti kau akan ku anggap sebagai pria yang mengingkari janjinnya," ucapku.

Aga mendengus keras, lalu mengambil alih sapu dan sekop ditanganku dengan kasar. Ternyata cukup mudah mengancam pria itu. Pasti dia adalah tipe yang tidak akan menarik kata-katanya. Sekarang aku punya senjata untuk mengancamnya.

Sekarang lebih baik aku mandi, dari pada ngedengerin Aga mengomel. Aku pun mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Setengah jam berlalu, aku selesai dan betapa terkejutnya mataku melihat lantai rumah dilapisi air berbusa.

"AGA!!!! Lo ngapain sihhhh??!! Kok jadi kacau gini?!!" Aku berjalan dengan hati-hati sambil mencari biang masalah ini. Ternyata Aga masih santai mengepel dekat meja makan. Saking geramnya aku lalu berjalan cepat dan lupa dengan lantai licin dibawahku. Alhasil beberapa meter dari tempat Aga, aku hilang keseimbangan dan terjatuh.

Brukk. Aku sudah bersiap mencium lantai keras dan basah itu. Tapi aku tidak merasakan tanda-tanda nyeri di badanku, malah merasakan sesuatu empuk dibawah ku. Mataku mengerjap sambil melihat posisi tubuhku. Aga ikut membuka matanya, melihat setengah badanku diatas dada dan perutnya. Wajahku panas dan jantungku berdebar karena penampilanku sekarang. Rambut basah yang terurai juga handuk kimono yang kendor. Aga memalingkan wajahnya dariku entah kenapa.

"Aira?" Seperti sambaran petir, aku menoleh takut-takut. Matilah aku. Ibu yang baru keluar dari kamar menatapku bingung.

"E-eh, i-ibu udah bangun rupanya..." aku mengencangkan ikatan kimono ku lalu berdiri.

"Sedang apa kamu?" Tanyanya. "Dan siapa itu?" Ibu melirik Aga dibelakangku.

"Ah, i-ini..." sebelum aku menyelesaikan Aga memotong perkataanku.

"Perkenalkan nama saya Aga. Saya pacarnya Aira." Mataku melebar dan sekujur tubuhku merinding menangkap maksud perkataan Aga barusan. Ibu nampak syok, lantas bertanya lagi.

"Pacar? Kau punya pacar Aira?" Tatapan ibu beralih padaku yang mati kutu. Terlebih Aga yang juga dengan bodohnya seperti menunggu balasan dari lamarannya barusan.

"Enggak kok bu. Aira mana punya pacar."

"Kami baru resmi kemarin kok. Jadi mungkin Aira terlalu malu untuk mengakuinya." Mulutku menganga lebar dengan aktingnya.

"Oh begitu ya. Pantas saja kemarin kamu senang sekali, bisa punya pacar setampan ini." Aduh ibu, kok bujur arus aja sih? Mampus lah aku.

"Terus kalian ngapain pagi-pagi begini? Dan kenapa lantainya basah?" tanyanya sambil melihat ke bawah kakinya.

Tidak ada ide yang terlintas dikepalaku, tapi Aga langsung menjawab pertanyaan ibu. "Waktu saya ambil air tadi, tangan saya licin terus airnya tumpah. Maafin saya ya, bu?" Sial! apa-apaan alasannya itu dan kenapa juga mukanya memelas? Lalu kenapa ibu malah jadi tersipu begitu? Jangan bilang ibu terpesona, ya ampun, ingat umur bu, ayah masih ada di Bandung.

"Ohh, begitu toh, ya sudahlah jangan dipikirkan," katanya sambil mengibaskan tangan.

"Aira, ambil kain lap dibelakang. Sekalian bawa baju buat pacarmu, tuh liat bajunya udah basah gitu," perintah ibu.

Shit. Bagaimana bisa aku yang menjadi pembantunya sekarang. Aku merasakan senyum mengejek terpatri diwajah Aga. Ugh, awas saja kau.

Aku membawakannya beberapa baju kaos dan menyuruhnya ganti di kamarku. Setelah itu ibu mengajaknya sarapan bersama. Enak betul dirinya ini, tanpa tau aku mendumel sedari tadi dan disadari oleh pria itu.

"Santai lah. Jangan sampai beliau curiga. Kalau sampai ibu mu tau kita bukan apa-apa dia akan marah besar. Kau mau perjanjian kita batal? Aku juga tidak mau dicap orang aneh oleh ibumu karena datang ke sini pagi-pagi buta," bisiknya padaku. Otakku menimbang-nimbang, benar juga sih apa yang dibilang si tengil ini. Hasilnya aku mengangguk pasrah dan melanjutkan sarapan pagi ku.

"Ibu aku mau berangkat dulu."

"Barengan aja. Bu saya izin pamit ya?" Kami berdua menyalim tangan ibu dan pergi keluar.

"Ya, hati-hati dijalan."

-----

"Kau mau kemana?" Aku menyadari jalan yang dipilih Aga berlawanan dengan arah kantor kami.

"Ke rumah."

"Ngapain? Aku udah mau telat nih. Kalau sampai bu Sonya marah, mati kau," ancamku padanya.

"Kau ini cerewet sekali. Mana mungkin aku datang ke kantor seperti ini," ungkapnya dan kubalas dengan dengusan.

Kami sampai di apartemennya. Ini adalah tempat pertama kami bertemu. Walaupun karena ini aku terlambat masuk kantor, sebenarnya aku suka disini. Sangat besar dan tenang. Cocok untuk menghabiskan hari dengan membaca novel sambil melihat pemandangan pantai Kuta. Aku yakin Aga juga tipe orang penyuka pantai, kalau tidak mana mungkin dia mau membayar mahal untuk tempat dengan view terbaik seperti ini.

Aku mengedarkan pandangan. Heran, tidak ada satu foto pun disini. Aku juga tidak tau kalau Aga punya saudara yang lain atau tidak. Aku bertaruh dia jarang menggunakan dapur, karena letak barang-barangnya bahkan terlalu rapi.

Beberapa saat kemudian, Aga keluar dari kamarnya dengan setelan jasnya. Tanpa sepatah kata pun, dia keluar meninggalkanku. Dengan sigap aku pun menyusulnya turun kembali ke parkiran mobilnya.

~~~~~~~~~~
Tbc

Maaf kalo ceritanya jadi makin gaje. Kalian comment dong, gimana ceritanya... sebenernya comment kalian itu berharga banget buat aku. Aku nerima semua kritik dan saran kalian kok, aku juga mau akrab dengan pembaca yang suka sama cerita aku ini...

Oke sekian cuap-cuap ku...
Minggu depan kita ketemu lagi yaa...

Salam, FAS

Fall Like RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang