18

13 1 0
                                    

Author pov

Gadis itu memeriksa kembali dandanannya di cermin. Membetulkan hiasan rambut yang sedikit miring. Ketika ia keluar rumah, supir suruhan Aga sudah berdiri sambil membukakan pintu mobil. Aira meremas ujung dress navy yang dikirimkan Siska tadi sore.

Tiga jam sebelumnya

Ngapain sih bapak nyuruh mbak Siska nganterin dress ke rumah?

Tidak lama Aga membalas pesan Aira.

Pakai saja. Jangan banyak komentar.

Kita kan cuman makan malam. Enggak perlu kali makai dress kayak gini.

Cerewet. Supir sampai jam 7. Jangan terlambat.

Setelah itu tidak ada balasan lagi. Sebenarnya ia enggan, memakai baju seperti ini seperti bukan gayanya. Sehabis pertarungan sengit antara dua pilihan itu. Aira memilih memakai dress pemberian Aga, lebih baik ia mencari aman kan?

Mobil berhenti di sebuah restoran bintang lima, tempat  janjian mereka. Lelaki bertampang kaku itu kembali membukakan pintu disamping Aira. Wanita itu menapaki tangga, lalu membuka pintu restoran. Ia disambut senyuman pelayan yang berdiri di hadapannya.

"Atas nama siapa nyonya?"

"Pradhita," ucap Aira menyebutkan nama belakang pacar pura-puranya itu.

"Lewat sini, nyonya." Pelayan wanita itu membawa Aira naik ke lift menuju lantai tiga. Yang ia tau, lantai itu terdapat ruangan tertutup untuk para tamu vip.

"Tuan Pradhita sudah menunggu." Aira menarik napas perlahan. Ia membuka pintu, mendapati Aga yang tengah sibuk menatap tab ditangannya.

Aga mengangkat kepalanya menatap Aira dari atas sampai bawah. Tanpa sadar ia menggumamkan kata wow. Pandangannya tetap terpaku ke Aira bahkan sampai gadis itu sudah duduk manis dikursi seberangnya. Semburat merah muncul ke permukaan pipi Aira. Padahal sudah banyak orang yang memberinya tatapan terpesona seperti itu. Namun ternyata punya efek yang beda kalau orang itu adalah Aga.

Aira berdehem, membuyarkan lamunan pria dihadapannya. Aga meletakkan tabnya dan membunyikan bel. Beberapa pelayan membawa makanan yang sudah terlebih dulu dipesan oleh Aga.

"Tunggu. Sebelum itu saya mau tanya alasan bapak mengajak saya kesini." Aga meletakkan kembali pisau dan garpu yang sudah digenggamnya.

"Kenapa? Enggak suka?"

"Bukan. Aneh aja. Enggak ada hujan, nggak ada badai bapak ngajakin dinner. Di restoran begini pula." Aira masih menggunakan bahasa formal, tidak enak rasanya berbicara santai ke atasan sendiri.

"Salah kah kalau seorang pacar mengajak dinner pasangannya?" Jantung Aira berdesir. Sial sekali, ia tak sanggup jika Aga berkata seperti itu dengan ekspresi yang serius.

Tapi untunglah Aira berhasil menetralkan ekspresinya dan hanya mengabaikan perkataan Aga. Sekarang matanya terfokus dengan makanan lezat di hadapannya. Tanpa pikir panjang ia melahap makanan tersebut. Aga juga ikut menghabiskan makanan pembuka itu.

Aira sangat menikmati makanan itu. Kapan lagi dia bisa makan makanan kelas atas juga ditempat yang menurutnya sangat romantis seperti sekarang. Pemandangan gemerlap kota dibawahnya sangat indah. Melengkapi moodnya yang sedang bagus sekarang.

Aga sesekali melirik Aira yang makan dengan lahap. Perempuan itu tidak menghiraukan Aga didepannya. Jarang sekali Aga melihat orang, apalagi perempuan makan dengan rakus, didepannya pula.

"Rakus juga makanmu," kata Aga mengejek.

"Sembarangan. Ini gara-gara makanannya enak tau," timpal Aira sedikit jengkel.

Fall Like RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang