12

57 5 0
                                    

Aira pov

Aku pulang membawa emosi yang meluap-luap. Marah, sedih, kecewa, semuanya seperti larut di satu wadah. Ibu langsung menghampiri kamarku. Mungkin suara hempasan pintu terdengar hingga pekarangan belakang. Suara derap kaki semakin mendekat.

"Aira, kau tidak apa-apa sayang?" Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamarku.

"... iya aku gak papa. Ibu pergi dulu ya, aku mau mandi nih," sangkal ku senormal mungkin

"Kalau ada masalah, ceritakan lah pada ibu."

Setelah itu tak ku dengar lagi ibu berkomentar. Aku berbaring di atas kasur empuk ku dan mengambil bantal. Membungkam wajahku lalu berteriak sekeras-kerasnya. Semoga bisa memuaskan kekesalanku pada cowok brengsek bernama Aga itu.

Ya tuhan, apa dosa ku sampai bisa berurusan dengan pria sepertinya? Awalnya hidupku sempurna tanpa dirinya. Kenapa Engkau mempertemukan kami? Kenapa harus dia? Apa tidak bisa aku meminta seseorang yang lebih mirip manusia. Aku tidak yakin bisa bertahan bersama iblis itu. Akhirnya kupejamkan kedua mataku, aku harus istirahat. Kalau sampai besok aku terlambat siapa yang mau disalahkan. Tidak mungkin menyalahkan si bos tengil itu.

Keesokan harinya, aku sudah duduk di tepi ranjangku. Padahal terasa seperti baru lima menit yang lalu aku mencoba untuk tidur, dan sekarang sudah pukul enam pagi. Seseorang mengetuk pintu kamar dan masuk, ternyata itu ibu. Senyum yang merekah layaknya malaikat, memberi rangsangan untukku mengukir senyum juga. Dia mencium kening lalu memeluk tubuhku. Tanpa tau apa-apa aku membalas pelukan hangatnya. Hatiku sangat bersyukur bisa terbangun seperti ini dan berharap akan selalu begini.

"Sarapan dulu, baru ke kantor." Aku mengangguk sebelum dia menghilang di balik pintu. Sesaat aku termenung. Ingatan soal kemarin malam kembali melanda. Bukannya merasa sedih, aku malah tersenyum, lebih seperti menyeringai. Sangat disayangkan, hal itu tidak berpengaruh lagi padaku. Aga salah besar kalau sampai berpikir hal sepele seperti itu menyudutkanku. Tunggu saja balasanku, kalau tidak namaku bukan Aira Angraini.

-----

"Morning, Aira!" Ayu muncul dari balik pintu ruangan bu Sonya. Aku membalas salamnya sesaat setelah tubuhku melewati pintu otomatis. Tapi sejak tadi beberapa karyawan melirik-lirik ke arahku. Mereka terang-terangan menyebut namaku saat aku lewat didepan mereka. Ada yang aneh, pasti terjadi sesuatu. Tapi apa? Ah, sudahlah ada hal yang lebih penting sekarang. Kantorku siang nanti akan kedatangan tamu spesial dari luar negeri.

Dari bagian costumer service, hanya aku dan Ayu yang diutus untuk menyambut di pintu utama. Sisanya menunggu di atas. Ayu baru saja keluar dari toilet. Aku menggandeng tangannya menuju lobby. Aku penasaran siapa yang akan datang. Apa dia seorang bule ganteng yang masih muda ya? Membayangkannya saja sudah membuat ku ngiler. Jarang-jarang aku melihat bule walaupun aku di bali. Satu-satunya orang yang terlihat bule ya hanya orang itu, si tengil Aga.

"Kalian berdua ikuti saya." Pria yang aku tau bernama Ridwan datang menghampiri kami. Dia sedikit lebih tua dariku tapi sudah memegang jabatan sekretaris bagian checking. Ah, aku sedikit iri padanya. Dengan sedikit enggan kami mengikutinya memasuki barisan.

"Kalian dari bagian CS kan?" Kami kompak mengangguk. "Syukurlah, aku mencari kalian dari tadi. Bu Sonya mengutusku untuk membantu kalian dalam menjawab pertanyaan dari tamu itu."

"Hah, maksudnya? Bukannya kami hanya menyambut? Beliau tidak ada bilang apa-apa soal tanya jawab dengan tamu," protesku.

"Perubahan rencana. Sudahlah, kamu ikuti saja," katanya telak.

Baru saja aku mau protes lagi, sebuah sedan hitam berhenti didepan pintu utama. Kami segera menegakkan badan dan menghadap depan. Kulirik pria yang berumur kisaran 40-an. Pupus sudah harapanku melihat bule ganteng hari ini. Ayu menyikutku lalu menunjuk arah lift dengan dagunya.

Aga dengan arogan keluar dari lift diikuti Siska yang setia mengekorinya. Mukanya seperti biasa, datar tapi tajam. Fisik yang mungkin dikagumi setiap wanita di dunia ini. Waktu pertama memang itu berpengaruh. Tapi mengetahui sifatnya yang seperti itu, pesonanya menjadi minus seribu persen dimataku.

Aga menjabat tangan lelaki itu, lalu berbincang. Rombongan kami mengikuti mereka. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka, karena aku ada di barisan paling belakang. Ayu yang sedari tadi curi-curi pandang manatap si tengil itu membuatku risih. Kalau saja sahabatku itu tau siapa Aga sebenarnya, dia tak akan repot-repot melihat wajah tripleknya.

Satu jam berlalu dan kami sampai di pemberhentian terkahir. Lega rasanya karena tamu itu tidak melontarkan satu pertanyaan pun padaku. Dasar si Ridwan, membuatku jantungan saja. Tapi aku menyadari beberapa kali Aga melihat ke arah ku. Apa pria itu sudah tobat dan merasa bersalah? Mana mungkin, Aga tipe orang dengan harga diri yang tinggi. Mustahil mengharapkan dia meminta maaf duluan.

Aku hanya menghela napas. Susah sekali memikirkan cara untuk balas dendam dengannya. Pria itu terlalu sempurna. Tidak pernah sekali pun dia melakukan kesalahan di kantor. Pulpen yang ku pegang hanya ku putar-putar di jariku. Pekerjaan di didepan ku jadi terabaikan karena konsentrasi ku terpecah.

"Yu, lo ada denger gosip pagi ini?" tanya ku pada Ayu yang tengah menulis sesuatu. Keningnya berkerut, lalu menoleh ke samping kanan dan kiri.

"Gak tau, hehehe," sahutnya sambil cengengesan. Aku mendengus. Ku kira dia tau sesuatu, nyatanya tidak. Tidak ada orang lain lagi yang bisa ku tanyai, walaupun aku ini supel, tapi aku kurang dekat dengan karyawan yang lain. Tiba-tiba terlintas nama orang itu di kepalaku. Mungkin Deon tau sesuatu.

"Apa aku telpon sekarang aja ya?" gumamku.

"Tapi takut ganggu..."

"Ra, lo stress ya? Kok ngomong sendiri?" Aku menoleh ke asal suara. Ayu sekarang menatapku horror.

"Enak aja. Lo kali yang stress," balasku seraya tertawa.

"Ehem!" Tawa kami berhenti menangkap suara deheman itu.

"Kembali bekerja!" perintah bu Sonya. Aku bergidik ngeri, bu Sonya sangat tegas. Dia tak pandang bulu soal menegur karyawannya. Setelah bu Sonya melewati kami, aku dan Ayu kembali cekikikan. Mungkin mata bu Sonya ada di belakang, sampai dia kembali mentap tajam kami berdua. Akhirnya kami kembali pekerjaan masing-masing, aku lupa kalau hari ini aku harus lembur.

-----

Tiga jam setelahnya, aku di panggil ke ruangan bu Sonya. Beliau menyuruh ku mengantar berkas ke ruang pak Wildan. Aku hanya mengiyakan dan langsung meluncur ke sana.

"Terima kasih, pak. Saya permisi." Tubuhku membungkuk sebelum keluar dari ruangan itu. Aku berpapasan dengan Deon di lift. Suasana masih sedikit canggung sebab insiden basah-basahan waktu itu. Wajah kami merona, aku sangat malu sekarang. Mungkin Deon juga berpikir demikian.

"Kau sudah ketemu pak Wildan?" Deon bersuara duluan.

"Tau darimana?" aku memiringkan kepala.

"E-eh, i-itu, tadi aku mencarimu," katanya gagap.

"Apa kau perlu sesuatu?"

"Oh iya... eh tidak juga. Duh, apa sih yang ku bicarakan," katanya terlihat frustasi. Dan aku berpikir itu lumayan lucu.

"Jadi iya atau tidak? Pftt..." aku mati-matian menahan tawa.

"Iya. Tapi sepertinya kau sibuk, lain kali aja. Aku duluan, bye," ucapnya sambil berlalu dengan wajah merah merona. Akhirnya tawa ku pecah, cekikikan tepatnya. Seru sekali menggoda pria satu itu. Memangnya cuma dia saja yang bisa menggoda ku. Aku juga bisa menjaili dia. Setelah Deon perg, aku masuk lift dan kembali turun ke ruanganku.

~~~~~~~~~~
Tbc

Salam, FAS

Fall Like RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang