15

30 3 0
                                    

Author pov

Kedua orang itu baru saja sampai di halaman gedung kantor. Aga baru teringat mau menanyakan sesuatu ke gadis itu. Tapi terlambat, Aira sudah lebih dulu masuk ke pintu utama. Aga menyusul Aira yang telah berdiri di dalam lift. Mereka bersikap seolah-olah tidak mengenal satu sama lain. Aira turun duluan tanpa mau menoleh sedikit pun kebelakang, ke arah Aga.

Tinggal Aga seorang di dalam lift menuju lantai ruangannya. Ia melewati pintu otomatis dan disambut bungkukan Siska. Aga mendaratkan badan ke kursi besarnya. Ia mengeluarkan kotak berpita dari kantong jasnya. Ia lupa memberi ini ke Aira tadi. Samar-samar ia membayangkan handuk kimono Aira yang tersibak pagi ini. Kenapa Aira bisa membuatnya begitu bergairah. Padahal kalau diliat-liat body perempuan itu sama sekali tidak berbentuk. Dada nya kecil dan dia terlalu kurus.

Ah, kenapa aku jadi memikirkan dia sih? runtuk Aga dalam hati. Ia mengacak-acak rambutnya lagi. Untuk kesekian kalinya dia tidak menyangka akan mengaku menjadi pacar Aira. Entah setan apa yang merasukinya. Akhirnya kotak yang berisi anting Aira pun ia masukkan ke laci meja dan menutupnya. Ia menekan tombol telepon lalu memanggil Siska ke ruangan.

"Apa jadwal saya hari ini?" Siska mulai membuka-buka buku di pegangannya.

"Pukul sepuluh nanti pak Rama akan berkunjung dan pukul satu bapak janji makan siang dengan wakil cabang Jakarta. Hari ini bapak juga harus mengunjungi proyek pembangungan resort di Ubud." Aga hanya mengangguk-angguk tanda mengerti. Lalu mengisyaratkan Siska untuk keluar. Selanjutnya dia membuang jauh-jauh pikiran tentang Aira dan sejenisnya. Aku harus fokus, batinnya.

Sementara di lantai lainnya Aira juga tampak tidak bisa konsentrasi. Otaknya terus memutar saat ia pandang-pandangan dengan bosnya itu. Jantung nya tidak kuat dengan mata cokelat yang membuatnya terpana, bahkan saat pertemuan pertama mereka.

"Aira?" Semakin ia mencoba mengenyahkan memori itu, semakin jelas terpampang wajah Aga. Malah sekarang lebih dramatis, dengan kelopak-kelopak mawar yang berjatuhan di sekitar mereka dan wajah Aga yang semakin bersinar. Aira menggeleng-geleng, yakin seratus persen saraf otaknya sudah ada yang konslet.

"Woi Aira!!" Wajahnya refleks menoleh ke samping karena seruan itu.

"Enggak denger apa gue panggilin dari tadi?" Kata Ayu kesal.

"Lo ngomong apaan?"

"Ck. Lo kenapa sih engak fokus gitu?" Tanyanya. "Apa ini gara-gara pak Aga?"

"Maksudnya?" Aira berkerut kening.

"Gue liat kok tadi lo dateng barengan sama pak Aga," katanya yang sanggup membuat Aira menahan napas.

"Jangan bilang lo udah mulai suka sama dia?" Untung saja Aira sedang duduk sekarang, karena kakinya tiba-tiba seperti jelly.

"Mana mungkin. Lo tau kan gue benci laki-laki kayak dia," ucap Aira separuh yakin. Ayu membuat tatapan yang membuat Aira berkeringat dingin. Setelah itu baru dia bersuara lagi.

"Aira, Aira, benci sama cinta itu beda tipis. Bisa aja lo mikir kalo lo benci dia tapi mana tau kalau itu jadi cinta kan?" Ayu menyunggingkan senyum lalu melanjutkan bicaranya.

"Gak papa kok Ra. Walaupun gue yang pertama suka, gue relain buat lo deh. Gue juga masih ada si Lintar kok," ucapnya dengan santai. Aira hanya melihat dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Saat ini dia belum menemukan kosa kata yang tepat untuk membalas pernyataan yang seperti kepasrahan dari sahabatnya itu.

"Lagi pula, gue tau pak Aga enggak mungkin suka perempuan kayak gue." Matanya menerawang saat mengucapkan kalimat barusan. Aira membisu ditempatnya, Ayu kelihatan lebih dewasa sekarang. Padahal Aira mengenal perempuan itu sebagai perangai yang ceria dan bisa dibilang agak cengeng.

Aira cuma mengangguk sekali, dibalas senyum kecil tapi sejuta arti. Ayu kemudian membalikkan kursinya, jarinya kembali mengetik di atas keyboard. Aira menyandarkan punggungnya, selang beberapa menit telepon kantornya berbunyi sekali. Ia mengangkatnya dan suara berat mampir ke telinganya.

"Ini aku. Hari ini sepertinya kau harus pulang sendiri."

"Aku tau. Lagipula sejak kapan menjadi kewajiban mu mengantarku pulang?"

"Sejak kita ngaku pacaran. Aku juga harus memainkan peranku dengan baik," katanya.

"Enggak perlu. Ibu juga gak bakal banyak tanya pasal dirimu," kata Aira yang terkesan menyindir.

"Oh ya? Yakin sekali kau. Terserahlah, aku juga gak peduli." Kesombongan pria itu benar-benar membuat Aira geram.

"Oh satu lagi. Berikan nomor mu."

"Untuk apa?" Kata Aira polos.

"Kau memang bodoh atau pura-pura bodoh sih? Kok otaknya gak nyambung-nyambung?"

"Shit. Udah lah, males ngomong sama orang kasar." Aira menghempaskan ganggang telepon. Kalau di kartun-kartun mungkin akan ada asap keluar di telinga dan kepala Aira. Tak lama, telepon kembali berdering. Membuat Aira berpikir dua kali untuk mengangkatnya. Panggilan pertama tidak dijawab Aira, ia pikir sudah selesai, tapi telepon kembali berdering. Mau tidak mau ia pun menjawab telpon itu.

"Kalau ada telepon harus cepat diangkat. Apa kamu tidak diajarkan hal dasar seperti itu?" kata Aga dingin, membuat Aira menelan ludah. Gawat, Aga bicara formal. Bagaimana ini? Batin Aira,

"Baiklah pak," cicit Aira.

"Berikan nomor mu," perintah Aga yang langsung mendapat respon Aira. Setelah itu hp Aira berbunyi tanda panggilan masuk.

Tut tut tut

Ia menyadari sambungan telepon telah di putus. Sekarang dia takut. Takut akan nasib karirnya di masa depan. Semoga saja tidak terjadi apapun, harap Aira dalam hatinya.

-----

"Woi, ngapain senyum-senyum kayak orang gila?" Deon memanggil Aga yang sedari tadi terpaku menatap layar hitam hpnya.

"Siapa yang senyum. Mungkin matamu yang mulai menua," katanya mengelak sekaligus mengatai Deon.

"Dasar kau. Tapi tunggu, apa ada berita bahagia? Rasanya wajahmu beerseri-seri?" Deon menyuapkan satu sosis ke mulutnya.

"Entahlah." Aga menyeruput lemon teanya.

"Apa ini ada hubungannya dengan, ya kau tau lah, Julia? Kalian berbaikan?" Air muka Aga berubah masam. Tentu saja bukan, Aga saja belum pernah bertemu lagi dengannya. Dan semoga saja tidak pernah, harap Aga.

"Lalu apa?" Sekarang dua sosis masuk sekaligus ke mulutnya. Kebiasaan rakus Deon tidak pernah berubah. Aga tertawa dalam hati.

"Oh aku tau, pasti kau sudah ada yang baru kan?" Nah itu baru sesuatu. Aga juga sebenarnya kurang yakin. Tapi bisa jadi, karena sejak tadi bayangan Aira terus menari di kepalanya.

"Mana mungkin," sanggahnya seraya tertawa kecil. Deon tidak melanjutkan perkataannya. Dirinya masih berpikir untuk mengenalkan Aga ke Aira. Sebagai sahabat, Deon punya kewajiban terbuka pada Aga kan?

"Bagaimana denganmu? Apa sudah ada yang lain? Yang pastinya lebih baik daripada si Berly." Kali ini Aga bertanya dengan sedikit berbinar.

"Ya begitulah, haha..." Deon tertawa miring.

Aga menjadi lebih tertarik dibanding yang tadi, "ohh, cantik? Kok enggak bilang-bilang?" Deon meminum jus jeruknya sebelum menceritakan semuanya. Toh apa salahnya hanya menyebutkan nama, batin Deon.

"Lumayan. Dia teman smp ku. Kebetulan bertemu belum lama ini. Dan kau tau dia satu kantor dengan kita."

"Seriously? Who is she? Apa aku kenal dengannya?" Deon mengangguk ragu, Aga menaikkan sebelah alisnya.

"Her name is Aira," jawab Deon, seketika badan Aga menengang.

~~~~~~~~~~
Tbc

Wah akhirnya bisa publish. Maaf ya aku mau bilang ini memang penyakit dari cerita pertama aku. Mood yang tiba-tiba jelek dan males buat ngelanjutin nih cerita. Padahal uda mau masuk konflik, eh malah hiatus sampe sebulan.
Aku minta maaf kepada semua yang penasaran dengan hilangnya lanjutan cerita ini. Tapi aku uda sembuh kok dan berniat buat ngetamatin nih cerita. Doain aja ya teman-teman. Komen dan vote kalian juga berpengaruh loh... thanks yang masih mau baca cerita abal-abal ini.

Salam, FAS

Fall Like RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang