9

39 3 2
                                    

Deon pov

"Julia?" aku berjalan mendekati wanita itu.

"Hai Deon. Lama gak ketemu," katanya tersenyum. Aku hanya tersenyum kaku.

"Tau darimana lo? Gue tinggal disini?" Julia menyilangkan tangannya didepan dada.

"Jadi lo lupa? Dulu, lo sering ngajakin gue sama Aga main kesini. Ya, pasti gue inget lah rumah lo yang mana," jelasnya.

Aku menggaruk tengkuk ku. Merasa tidak nyaman dengan kedatangan Julia. Biasanya juga dia hanya menghubungi ku via telpon. Tapi akhir-akhir ini dia sudah jarang menghubungi ku lagi, dan sekarang tiba-tiba dia ada di depan rumah ku.

"Lo gak nyuruh gue masuk nih?" aku tersadar kemudian dengan sedikit terpaksa aku memasukkan password dan membiarkan pintu terbuka. Julia melenggang masuk mendahului ku.

Ia duduk di sofa tengah, sedangkan aku pergi ke kulkas, mengambil minum. Aku kembali dengan dua gelas es jeruk dingin. Kulihat Julia sibuk memainkan i-phone nya, aku berdehem yang membuatnya menoleh. Setelah aku duduk sempurna di sofa sebelahnya, Julia pun buka suara.

"Gue mau minta tolong..." Aku diam menunggu apa yang ia ucapkan selanjutnya.

"Bantuin gue buat dapetin Aga lagi." Aku menghela napas pelan. Seperti sudah tau apa yang akan dimintainya. Aku kemudian meneguk es jeruk yang ada didepan ku, Julia juga mengikuti, meminum minumannya.

"Jul... lo harus lupain Aga. Gue ngasi tau ini sebagai temen lo. Untuk apa lo berharap dari orang yang udah gak peduli lagi sama lo. Ini sama aja dengan ngebuang-buang waktu lo," kataku padanya. Julia hanya menundukkan kepalanya, diam seribu bahasa.

"Lebih baik lo cari cowok lain," tambah ku lagi. Bukannya bermaksud kasar, tapi memang seperti itu lah kenyataan nya. Menurutku Aga tidak akan lagi membuka hatinya untuk Julia. Soal dia yang sering kepikiran Julia juga mungkin hanya karena merasa bersalah terhadapnya, tidak lebih.

"Tapi gue cinta sama dia, Deon." Julia mengangkat kepalanya. Terlihat jelas raut keputus-asaan di wajahnya. Aku juga sedikit terkejut melihat cairan bening yang sudah memenuhi matanya.

"Tapi dia gak cinta lagi sama elo!" tegasku padanya. Berniat menyadarkan wanita bodoh ini. Dia tertegun mendengar suaraku naik satu oktaf. Kulihat satu tetes air, terjun bebas dari pelupuk matanya. Sudah lama ia tidak melihat Julia menangis. Terakhir kali, pada saat Aga memutuskan Julia.

Kepala Julia tertunduk. Sangat jelas terdengar sesekali ia sesegukan, meredam tangisnya. Tanganku bergerak, menyentuh punggungnya. Tapi berhenti diudara, ketika mendengar suara seraknya yang masuk ke indra pendengaranku.

"Kalo gak mau bantuin, yaudah! Gue bisa sendiri. Gak perlu lo ceramahin gue kayak gini. Gak perlu lo sampai ngebentak gue. Gue juga uda tau kok!" Setelah mengatakan kalimat itu Julia pun pergi meninggalkan ku sendiri dengan pikiran ku yang entah kemana.

Aku mengusap wajahku penuh frustasi, setelah mendengar suara pintu tertutup dengan kasar. Tuhan, aku menyakiti dia lagi. Pikiranku saat ini bertolak belakang dengan tubuhku. Satu tegukan es jeruk, tubuhku memenangkan pertandingan.

"Julia!! Tunggu...Julia!!" Aku berlari sekuat tenaga, Julia masih setia dengan hentakan di hak sepatu nya.

"Julia.. hosh...hosh...hosh... lo...gak pernah berubah," senyuman kecil dibibirku, membuat gadis ini ikut tersenyum dengan air mata yang masih mengalir.

"Emang sejak kapan gue bilang bakalan berubah,"Julia memberi satu pukulan kecil di bahuku, "lo bakalan tetep kalah kalo lomba jalan ama gue," lanjutnya, kali ini ia tertawa. Menghapus air matanya.

"Maaf, gue harap omongan yang barusan gak nyakitin elo," ucapku, kali ini badan ku sudah tegap seperti biasa.

"Jadi lo mau bantu gue kan?" Ucap Julia berbinar.

Aku menjawab dengan gelengan kepala, wajahnya kembali mengkerut seperti nenek-nenek. Ah, bahkan seperti nenek-nenek sekalipun dia tetap...cantik.

"Terus ngapain lo ngejarin gue?" Kata Julia dengan nada kesal.

"Uda malem, terus ada cewe nangis keluar dari apartement gue. Ya kali, bisa-bisa dibilang abis KDRT gue," Julia terkekeh mendengar ucapanku yang sedikit berlebihan. Ia mengulurkan tangannya, dan aku pun menggenggam kuat tangan mungil yang sempat menjadi milik Aga itu.

Ku tuntun gadis itu menuju mobil. Di dalam mobil kami berbicara banyak hal. Walaupun bisa dibilang tidak terlalu penting, tapi senang rasanya bisa kembali akrab dengan perempuan disamping ku ini.

Aku dan Julia saling melambai. Sebelum bayangan Julia menghilang dibalik pintu lift hotel, ku sunggingkan senyuman kecil. Kemudian aku kembali menempuh perjalanan kembali ke apartemen ku.

-----

Author pov

Aira Angraini.
Lahir di Bandung 1 Januari 1994. Alamat jalan Perwira Denpasar, Bali. Status lajang/belum menikah.
Orang tua tinggal di Bandung.
Bekerja di Pradhita company sebagai customers service.

Aga meletakkan kertas yang barusan diantarkan oleh Deon. Dirinya berpikir sejenak setelah mengetahui tentang wanita itu. 'Dia hanya gadis biasa, tidak ada yang spesial darinya. Aku hanya perlu bersikap selayaknya di depan dia kan? Tapi kenapa aku selalu memikirkan nya akhir-akhir ini?' pikir Aga.

Perhatiannya menerawang keluar melewati jendela besar di ruangan itu. Tidak lama seseorang mengetuk pintu. Aga menghadap kembali ke arah laptop, membetulkan posisi duduknya lagi sebelum disuruhnya orang itu masuk.

"Ini kontrak persetujuan cabang departement di Batam." Siska menyodorkan beberapa dokumen di atas meja.

"Prosesnya sudah berapa persen?"

"Hampir 75 persen. Bulan depan akan selesai." Aga hanya mengangguk, kemudian menandatangani dokumen itu. Siska menundukkan kepalanya sebelum keluar ruangan.

Belum juga Aga menyenderkan badannya, pintu kembali terbuka. Siska masuk kembali dengan agak tergesa-gesa.

"Pak, nyonya Agni ada di lobby," ucapnya.

"Ha? Sekarang? Disini? Ada apa?" Siska menggeleng cepat, tanda ia pun juga tidak tau. Aga segera mengecek hpnya, dan ternyata sudah banyak panggilan tak terjawab dari mamanya. Ia meruntuki dirinya sendiri yang men-silent kan hpnya.

Ia menyuruh Siska keluar, membiarkan mamanya untuk masuk. Tanpa dibilang pun, Siska tak mungkin menghalangi jalan dari istri pemilik tempatnya bekerja. Selang beberapa menit setelah Siska keluar, nyonya besar Agni pun datang dengan wajah masam nya. Aga sudah mempersiapkan telinga, untuk mendengar semua celotehan mamanya itu.

"Kenapa kamu gak angkat telepon mu, hm?" ucapannya santai, tapi sanggup membuat Aga merinding.

"Emm... itu... tadi aku ada rapat ma," ucapnya mencari alasan. Agni berdecak, lalu duduk di sofa dekat jendela. Aga juga ikut duduk di seberangnya.

"Jadi ada apa ma?" Wanita itu tak langsung menjawab, malah berdiri dan menuju coffee maker di ujung ruangan.

"Gak ada yang penting kok. Kangen aja dengan anak bungsu mama," ucapnya sambil memasukkan gula kedalam gelas dan mengaduknya.

Aga memalingkan mukanya, memandang jalanan yang macet dibawah sana. Agni hendak kembali dengan melewati meja kerja Aga. Ada sesuatu dimeja itu yang membuatnya penasaran. Sebuah foto tergeletak disana. Ada juga kertas yang berisi tulisan seperti biodata. Ia menebak kalau biodata itu adalah milik gadis yang ada difoto.

Agni tersenyum haru sambil memandang foto gadis ditangannya. Tidak henti dia mengucap syukur atas kemajuan putranya itu. Akhirnya dia bisa melihat Aga berjalan di altar. Dia pun meletakkan foto itu ditempatnya semula, dan kembali duduk disofa dekat Aga.

---------------

#bersambung

Salam, FAS

Fall Like RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang