13

56 5 0
                                    

Aga pov

"Jadi apakah kita sepakat?"

"Ya, saya setuju," ucapnya, lalu menjabat tanganku.

"Baiklah. Mr. Clinton saya akan mengantar anda."

"No problem. Lanjutkan saja pekerjaan anda. Kedatangan saya kesini pasti telah merepotkan anda."

"Tidak sama sekali. Kalau begitu, sebagai gantinya sekretaris saya yang akan mengantar anda keluar." Mr. Clinton mengangguk padaku dan berjalan keluar bersama Siska.

Akhirnya aku bisa rileks sebentar sambil menyandarkan punggung ku di kursi. Aku mengambil handphone ku yang bergetar dari balik jas. Nama Julia tertera disana. Ku pandangi sejenak lalu menggeser tombol merah. Belum juga lima detik benda itu kembali berbunyi, masih dengan caller id yang sama. Untung saja kali ini berhenti di panggilan ke-enam. Biasanya akan ada dua puluh miss call darinya. Bagus lah, sepertinya dia sudah sadar aku tidak sudi menjawab telponnya.

Setelah kembali tenang aku berniat melanjutkan pekerjaan. Tapi belum juga lima menit, aku mendadak tidak bisa konsentrasi. Otakku teringat Aira yang mengabaikan ku tadi. Sangat jelas dia yang ada di barisan belakang, hanya melihat ke arah lain. Menghindari kontak mata denganku. Apa dia masih marah soal kejadian kemarin malam? Tidak heran, tentu harga dirinya sudah terinjak dengan hinaan ku. Sulit sekali membaca ekspresinya, berbeda dengan perempuan di sebelahnya yang jelas-jelas suka padaku. Aku harus minta maaf, lagipula aku sudah berjanji dengan mama.

Akhirnya ku putuskan untuk menemuinya sehabis pulang kantor nanti. Ini harus dirahasiakan. Tidak mungkin meminta maaf padanya di depan karyawan lain. Bisa jatuh harga diriku ini.
Sekarang sudah pukul sembilan malam. Pas sekali, Aira masih ada di kantor. Aku mengecek ke ruangannya tadi dan ia sedang berkemas-kemas mau pulang.

Mobil ku sudah terparkir di depan pintu utama dan segera ku hidupkan. Tapi Aira hanya melewati mobilku begitu saja. Bisa jadi karena hari ini aku memakai mobil yang lain dan dia tidak mengenalinya.

Aira berjalan menuju trotoar dengan mobilku yang membuntutinya. Gadis itu menunggu angkutan umum di pinggir jalan. Senyum kecil menghiasi bibirku, ternyata sesuai prediksi. Malam ini bisa kupastikan tidak akan ada angkutan umum yang lewat. Ide ku sungguh brilian. Tidak sia-sia aku menyuap setiap atasan dari bis-bis tersebut untuk menyukseskan rencanaku. Dengan tidak adanya tumpangan Aira pulang, aku akan pura-pura lewat dan memberinya tebengan. Lalu di dalam mobil nanti aku bisa meminta imbalan maaf darinya karena sudah menumpangi mobil ku.

Aku masih menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk menjemput Aira. Tetapi wajahnya terlihat santai setelah mendapat telpon tadi. Berbeda saat ia menunggu di halte rumah sakit beberapa waktu yang lalu. Tak lama sebuah mobil berhenti di depan Aira. Gadis itu pun langsung naik dan mobil itu berkendara entah kemana. Aku pun penasaran lalu mengikuti mobil itu.

Mobil misterius yang membawa Aira tadi masuk ke komplek rumah Aira. Entah kenapa, aku tidak asing dengan mobil hitam itu. Otak ku mengingat-ngingat pernah melihat nya di suatu tempat. Aku menunggu-nunggu barangkali pengemudinya akan turun. Tapi setelah Aira melambaikan tangannya, mobil itu langsung berangsur pergi.
Apa rencana ku gagal? Cih, pertanyaan bodoh apa itu. Tentu saja, jelas-jelas Aira sudah selamat sampai rumah. Dan sekarang rasa kesal menyerangku. Tanpa pemikiran matang aku pun turun dan menemui gadis itu.

"Hei!" Aira memutar kepalanya. Pupil matanya melebar melihat kedatangan ku. Masih ada juga efek pesona ku padanya. Ia langsung menetralkan ekspresinya setelah aku berdehem.

"Siapa yang mengantar mu pulang?"

"Bukan urusanmu," sahutnya dingin.

"Kau marah?" Keningku berkerut.

"Tidak. Aku gak punya hak marah padamu." Sekarang nada suaranya berubah ketus.

"Kalau tidak, kenapa ketus begitu?" Alis ku naik sebelah. Aira hanya memutar bola matanya malas dan tidak menjawab pertanyaanku. Situasi jadi aneh karena kami berdua sama-sama diam. Mulutku seperti terkunci, kata-kata yang mau ku ucapkan seperti tersangkut disana.

"Kalau sudah selesai, silahkan pergi. Aku capek," katanya lalu membalikkan tubuh.

Gerakannya terhenti karena tanganku menahan tangannya. Ku rasakan tubuhnya jadi kaku tiba-tiba. Dengan satu tarikan nafas aku akhirnya berhasil mengucapkannya. "Maafkan aku."

Sejenak tidak ada respon, lalu dia menyentak keras tangannya, sampai terlepas dari peganganku. "Maaf katamu? Apa maaf mu itu bisa membuat ku melupakan kejadian memalukan itu?" tanyanya sinis sekali.

"Tapi setidaknya aku harus mengatakan maaf."

"Memangnya kau siapa? Aku juga tak yakin kalau kau sungguh-sungguh," katanya masih dengan membelakangiku.

"Apa kau perlu bukti?" Aku sedikit geram dengan tingkahnya yang mendadak sok.

"Bukti? Wah boleh juga tuh. Kalau kau mau menjadi pembantu ku selama seminggu, aku akan memaafkan mu," ujarnya sambil membalikkan badan. Sekarang aku mengutuk mulutku yang asal ceplos tadi. Bukan hanya itu, Aira sekarang berdiri menghadapku dengan tampang sok liciknya.

"Apa?! Kau gila?! Aku tidak mau," kataku tegas. Sinting apa nih perempuan. Seorang Aga dijadiin pembantu, kau harus membayar sangat mahal untuk melihatnya.

Sekarang Aira melipat kedua tangannya di depan dada. "Terserah. Berarti selamanya maafmu tidak akan aku terima." Melihatnya yang tersenyum mengejek seperti itu, sangat menjengkelkan. Aku mengacak rambut ku frustasi.

"Bagaimana kalau aku membayar mu? Berapa yang kau mau? Atau akan aku kabulkan satu permintaan mu," tawarku, mencoba menghindar dari permintaan tak masuk akalnya.

"Eh, benar-benar? Apapun boleh?" Aku mengangguk sekali, "kalau begitu... jadilah pembantu ku," ucapnya dengan senyum bak malaikat dan mata yang berbinar.

Wajah ku yang penuh harapan tadi berubah suram. Kenapa bisa ada perempuan yang menolak diberi uang. Bukan kah uang adalah segalanya, terlebih hidup gadis ini masih biasa-biasa saja. Dia bisa meminta berapa pun dariku, tapi dia menolaknya mentah-mentah.

Aku mendengus keras, sekarang aku sedang memutar otak. Berusaha mencari cara lainnya. Tapi sepertinya dewa kematian yang berpihak padaku hari ini. Jadi mau tak mau aku harus menerimanya. Ini semua demi mama. Aku rela dijadikan pembantu hanya karena tidak mau jadi anak durhaka. Akhirnya dengan pasrah, aku menatap Aira yang masih menunggu jawaban ku.

"Baiklah. Satu minggu." Aira merubah ekspresinya menjadi lebih berbinar-binar. Tentu saja dengan senyumnya yang semakin lebar.

"Oke. Mulai besok kau harus datang ke sini tepat pukul 5 pagi," suruhnya enteng dan sukses membuat mataku membesar.

"Hah?! Kau sinting?! Mana bisa aku bangun jam segitu."

"Eits! No comment. Sekarang lebih baik kau pulang dan tidur. Aku tunggu besok. Kalau sampai telat, akan aku perpanjang satu hari hukuman mu."

Setelah mengatakan itu Aira berlari masuk ke rumahnya. Menghindari aku yang ingin protes lagi. Tanganku memijit pangkal hidung yang terasa berdenyut. Akhirnya aku menurut dan masuk ke dalam mobil. Tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang. Pasrah mungkin jawaban untuk hukuman ini. Mau bagaimana lagi, aku sudah menyetujui nya dan sekarang aku harus menepati hal itu.

~~~~~~~~~~~
Tbc

Fall Like RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang