Bianca
Aku sedang menikmati bir dinginku di La Plancha, salah satu beach club di pantai seminyak yang cukup ramai pada jam jam sore begini. Sendirian. Melepas penat setelah seharian berkutat dengan kamera. Sekaligus merayakan cairnya upah yang aku dapat selama menjadi fotografer lepas.
Maklum, pekerjaanku sebagai fotografer lepas tidak seberapa ketika aku masih bekerja dengan salah satu channel televisi dokumentasi di DC sebagai war photographer.
Berbahaya dan menantang. Itu salah satu alasan kenapa aku memilih pekerjaan itu.
Biasanya aku akan merayakan hal kecil ini bertiga. Aku, Kharisma dan dia. Orang yang tempo hari mengatakan padaku, bahwa dia sudah menemukan jodohnya.
Bunyi ponselku meraung-raung. Aku mengernyitkan dahiku, sedikit terganggu. Aku menatap layar ponselku. Dia.
William Duncan calling...
"Ya?" Sahutku.
"Lihat ke arah jam 4." Aku menuruti permintaanya dan disana, dia duduk di atas bean bag oranye dengan kaca mata hitamnya sambil memegang botol Bintang. Tersenyum tipis.
Tampan.
Sialan! Aku tidak seharusnya berpikir seperti itu. Bule kampung satu itu selalu membuat pikiranku kacau.
Aku membalikkan tubuhku kembali menatap pantai yang sebentar lagi akan memberikan pemandangan indah matahari terbenam.
"Tega lo. Kongko sendirian nggak ngajak-ngajak. Syukur gue telepon Hari nanyain lo udah kelar pre-wed atau belum." William sudah duduk di bean bag di sampingku. Hari itu adalah timku ketika aku bekerja sebagai tukang foto.
"Lo sibuk." Aku memberi alasan kenapa aku memilih sendiri.
"Siapa bilang?"
"Gue."
"Kapan?"
"Barusan kan?"
William berdecak menghentikan percakapan bodoh ini. Kami akhirnya duduk dalam diam.
Akhir-akhir ini, ketika hanya kami berdua, percakapan kami semakin jarang. Kami memilih dalam mode diam dan tidak berusaha membuka bibir walau hanya untuk sekedar mengeluarkan komentar bodoh mengenai orang-orang di sekiar kami.
Entah siapa yang memulai. Entah karena apa.
Mungkin aku yang memulai, mungkin karena ucapannya tempo hari.
Mungkin.
"Bi?"
"Hm?"
"Nanti resepsinya Kharisma lo datang sama siapa?" Tanya Will.
"Nggak tau. Belum kepikiran. Gue aja bingung bisa datang atau enggak." Jawabku sekenanya.
Well, aku sebenarnya pasti datang. Jawaban untuk Will itu keluar karena aku tau dia tidak mungkin mengajakku karena dia pasti bersama Si Sempurna.
"Masa lo tega nggak datang ke nikahan sahabat lo sendiri." Gumamnya.
"Datang deh. Siapa tau gue nyusul lo gitu. Ketemu jodoh." Aku berusaha tertawa ketika berkata begitu.
Will hanya mendengus. "Kalau lo ketemu jodoh, harus melewati tahap skrining dari Kharisma terus Om Sonny dan terakhir dari gue."
"Siapa lo? Skrining harus dari Papa gue, ya. Bukannya Kharisma ataupun lo. Please deh." Protesku.
Kami kembali diam menikmati pemandangan di depan kami.
"Bi?" Panggilnya lagi.
"Apa sih?"