William
"Bi."
"Eh! Ngapain lo ikut masuk? Sialan. Keluar sana, gue mau mandi." Usirnya. Gue cuma diam bergeming di dalam kamarnya. Kalau dulu, gue akan langsung lompat ke kasurnya dan tidur di sana.
"Gue ngasih lo hadiah wine untuk kado pernikahan lo. Buka bentar malem ya?" Tanya gue. "Sekalian rayain akhirnya lo melepas lajang. Nggak bisa main-main lagi sama gue, Scott dan Kharisma karena ada suami. Ya?"
Bianca berpikir sebentar. "Ajak Kharisma?"
Gue menggeleng. "Dia kan belum balik, bego."
"Oh iya. Ya udah, atur aja deh. Bentar malem juga nggak apa-apa. Bachelorette party gue sama laki-laki. Saking gue nggak punya temen perempuan." Kekehnya.
Gue tersenyum mengangguk. Kemudian keluar dari kamar tidurnya. Kamar tidur yang sudah memiliki aroma berbeda sejak terakhir gue tidur disini. Aroma vanilla dan strawberry miliknya sudah tertutupi dengan aroma lain. Aroma yang asing bagi gue.
"Mandi, dandan yang cantik. Gue mau masak buat lo." Teriak gue dari luar. Gue mendengar jawaban nyinyirnya.
Begitu selesai mandi, gue mengecek isi kulkas. Syukur ada. Jadilah gue memasak seadanya. Cuma ayam fillet goreng tepung saus jamur dan tumis sayur, ada kentang tumbuk juga. Tidak sehebat masakan Banesa tapi tidak membuat orang yang merasakan masakan gue ini mati seketika.
"Yum, smell's good Will.." Dia keluar dari kamar tidurnya. Sudar rapi dan segar. Juga cantik dan tiba-tiba dia begitu.. menggoda.
Kami bercanda, bercengkrama, ngobrol masalah sepele. Dia mengatakan rindu berselancar dan mengabadikan objek absurd yang dia bilang bagus. Akhir-akhir ini pikirannya memang tersita ke pekerjaannya sebagai arsitek yang sedang menangani proyek pengembangan hotel baru dan tentu saja, pernikahannya.
Gue cuma tersenyum menatapnya bercerita. Rasanya sudah lama sekali terakhir kali gue dan dia duduk bersama, seperti ini.
"Kenyang deh." Jawabnya sambil mengelus perutnya. "Ke ruang tamu sambil nyicip wine lo, tapi sedikit aja ya." Ajaknya. Gue mengangguk.
Langsung mengambil gelas red wine dan wine yang gue beli barusan. Menuangkan sedikit dan menghirup aromanya. Dia juga mengikuti.
Dia bukan pecinta wine seperti gue. Dia lebih suka whiskey atau bourbon. Pokoknya ke arah spirit daripada wine. Itu juga yang menyebabkan dia pernah ikut AA meeting. Alkohol dulu adalah teman baiknya, membuatnya pernah menjadi alkoholik. Syukur sekarang dia bisa mengatur diri. Walaupun terkadang, ketika di sedikit tertekan, dia akan kembali minum di luar batas wajar.
"Baunya emang manis manis gini ya?" Tanyanya. "Nggak kaya spirit ya." Kemudian dia menyesapnya. Matanya membulat. "Manis-manis pahit asem gitu." Komentarnya.
"Minum ya minum aja, kaya kritikus hebat aja lo." Kekeh gue. Dia tertawa. Kami terus menuang wine ini.
"Baru pertama kali gue minum Wine nih. Biasanya kan spirit doang. Tapi so far so good, sih." Kekehnya.
Saat gue melihat dia, matanya sudah mulai sayu dan dia sudah mulai meracau. Gue sendiri masih cukup sober. Kalau di suruh nyetirpun, gue masih bisa. Tapi memang sedikit pening dan tubuh gue udah cukup panas sih.
Saat gue melihat pipinya sudah merah karena mabuk, seketika pikiran gue semakin memburuk. Awalnya tujuan gue memang mau melepasnya, mengiklhaskan segalanya. Seperti yang seharusnya gue lakukan. Tapi..
**
[21+]
"Nggak.." Suara seraknya sudah membuat tubuh gue panas dingin. "Nggak boleh.." Dia kembali mendorong dada gue. Kami sudah berpindah ke kamarnya. Kamar yang asing bagi gue.
Bibir gue dengan rakusnya melahap bibirnya. Bibir manis bercampur asam dan pahit, sisa-sisa dari wine yang kami sesap. Rasanya memabukkan. Mungkin efek wine, mungkin efek dirinya.
"Bianca, ayolah. Sekali aja. Habis ini lo udah nggak boleh main-main lagi." Satu tangan gue menyusup masuk ke dalam celananya. Dia menahannya tapi tidak melakukan apapun setelahnya.
"Nggak boleh pokoknya." Suaranya lemah, tubuhnya lemah.
Gue ingat perkataan Kharisma tempo hari. Kalau gue brengsek, gue akan merebut dia dengan cara apapun. Kalau gue punya akal sehat, gue akan iklhasin dia.
Saat ini gue brengsek.
Gue mau dia, gue cinta dia, gue butuh dia.
"Bianca, come on.." Bisik gue di telinganya. Tangan gue masih berusaha menyusup diantara pakaiannya.
Pertahanan dirinya melemah ketika gue kembali melumat bibir manisnya. Kedua tangannya sudah tmenangkup pipi gue, itu artinya tangan gue nggak akan ada yang nahan lagi.
Tanpa persetujuan dan entah siapa yang memulai, kami sudah sama-sama polos. Dia meraba perut gue, gue juga meraba tubuhnya.
Penuh tato di titik tubuh tertentu. Tato bergambar pohon sakura menjalar di sepanjang pingulnya. Cantik.
Bibir gue sudah berpindah dan mencercap seluruh titik di tubuhnya. Sedikit menggigit dan menghisap. Menginggalkan jejak kepemilikan gue di tubuhnya.
Jemari gue meraba titik sensitifnya, matanya seketika membulat dan dia bergerak tidak nyaman. "Nggak boleh.." Dia masih menggumamkan kata itu.
"Kalau nggak boleh, terus kenapa lo nggak nolak?" Kekeh gue. Dia malah menatap mata gue dengan mata sayunya.
Pikiran gue udah jauh di atas awang. Langsung saja gue membelai miliknya yang sudah basah. Dua jemari guepun langsung gue susupkan di miliknya. Dia melenguh untuk pertama kalinya.
"Nikmatin aja, jangan di lawan." Gue tertawa sendiri mendengar kalimat yang baru aja gue lontarkan.
Jemari gue terus mengobrak-abrik pertahanan dirinya. Lenguhannya berubah menjadi erangan. Punggungnya melengkung, tubuhnya bergetar. Dia orgasme. Karena gue.
"Lanjutin ya?" Tanya gue. Dia masih diam tidak menunjukkan penolakan dan persetujuan.
Gue mengurut milik gue sebentar, membasahi sedikit dengan sisa-sisa cairan milik Bianca. Begitu gue siap, dengan pelan gue mengelus paha mulusnya. Membuka dan menekuknya. Dengan gerakan pelan, gue mulai masuk. Dia mengernyit, dahinya mengkerut.
It feels great.
Itu kalimat pertama yang gue pikirkan ketika gue memasuki kehangatan milik Bianca. Tangannya mencari pegangan, langsung gue genggam jemarinya. Menuntunnya untuk memegang lengan gue. Dia menurut.
Gue terus memaksa masuk. Ketika milik gue sudah masuk sepenuhnya, gue meliriknya. Ada air mata menetes di pipinya. "Hei, don't cry." Gue mengelus pipinya, berusaha menghilangkan jejak air mata itu. "Don't hate me." Bisik gue ketika gue mulai bergerak.
Dia nggak berkata apapun ketika gue terus bergerak mencari nikmatnya gue. Sementara dia terus mengerang. Suara erangannya membuat gue semakin brutal.
Tubuhnya kembali bergetar hebat. Gue tau dia kembali orgasme saat miliknya menjepit milik gue. Dia sudah lemah saat gue meliriknya. Gue terus bergerak hingga pelepasan gue pun tiba.
Begitu selesai, gue langsung berguling ke sampingnya. Memeluk tubuhnya erat seakan-akan dia akan pergi.
Yang gue tau, dia memang akan pergi. Pergi memulai kehidupan baru bersama Banesa.
To be continued...