DUA BELAS

39.7K 3.6K 100
                                    

Bianca

Mataku terbuka pelan ketika aku merasakan ada gerakan pelan di atas kasurku. Mengernyit sedikit karena rasanya pening luar biasa.

Berusaha membuka kelopak mataku, aku menahan rasa sakit yang terus menjalar di kepalaku. Rasanya seperti di pukul dengan tongkat yang di ujungnya di pasang buah durian. Duri-duri buah sialan itu seperti menusuk kepalaku setiap kali aku mengerjapkan mata.

Aku bergerak pelan dan menemukan sesosok tubuh pria sedang tidur di sampingku. Memunggungiku. Itu bukan tubuh Banesa. Karena tubuh Banesa, terutama punggungnya penuh dengan tato bergambar hutan pinus, sedangkan manusia di sampingku memiliki tubuh yang polos tanpa rajaman.

Tidak.

Tidak..

Nggak mungkin.

Aku tau pemilik badan itu. Aku kenal siapa pemiliknya. Tubuh tegap dengan punggung yang ada bekas luka jahitan melintang sepanjang hampir 10 cm. Luka karena terbentur karang ketika kami berselancar di Jepang dulu.

Aku bergerak dan menyingkap selimutku. Rasa perih dan ngilu merambat di pangkal pahaku. Aku juga telanjang.

Kepalaku masih pusing, tubuhku masih ngilu tapi ada rasa sakit menguar di dadaku.

"Bangun brengsek!" Aku menendang punggung telanjang milik pria yang notabene sudah ada di hidupku selama lebih dari 10 tahun. Yang sudah mengenalku luar dalam, yang sudah tau betapa nakal dan rusaknya aku.

"Hmm.." Dia menggeliat kemudian bangkit untuk duduk. Dia memegang kepalanya dan memijit pelipisnya kemudian. "What happen?"

Aku kehabisan kata-kata saat dia dengan bodohnya bertanya apa yang terjadi. Aku langsung bangun, menarik selimutku, memungut semua pakaianku yang tercecer di lantai bersama pakaiannya. Aku langsung beranjak untuk masuk ke kamar mandi. Menguncinya.

"Bianca.." Dia mengetuk halus pintu kamar mandiku. Aku masih duduk di pinggir bathtub.

Air mata seharusnya keluar dari mataku saat ini, tapi tidak ada apapun. Aku hanya bisa menatap dinding kamar mandi yang terlapisi keramik dengan ukiran bunga.

Dia dengan teganya meniduriku. Saat aku mabuk. Sahabat terdekatku sendiri tega melakukan hal ini padaku. Aku sudah sering mabuk bersama Scott ataupun Kharisma dan mereka berdua tidak pernah sampai tega melakukan hal ini padaku. Bahkan Banesa, yang berstatus calon suamiku, berusaha kuat untuk tidak menyentuhku sebelum kami menikah.

Aku kemudian menangis dan meraung sekeras-kerasnya.

"Bianca, open the door!" Bukan ketukan halus lagi tapi gedoran yang terdengar.

Aku menyambar lilin aromaterapiku, oleh-oleh dari Banesa ketika dia sedang berkunjung ke Singapore 2 minggu yang lalu, dan langsung melemparkannya ke arah pintu.

Keramik penyangga lilin itu pun hancur berkeping-keping. Seperti diriku saat ini. Sementara lilinnya memilih menggelinding kembali ke arahku

"Bianca, please open the fucking door!" Teriaknya.

"Pergi lo brengsek!" Sambarku.

Aku menghidupkan shower dan langsung duduk di bawah pancuran. Aku sudah tidak mendengar suara sekitar. Tapi samar-samar aku masih mendengar suaranya di luar sana. Memohon untuk aku membuka pintu, memohon untuk aku agar membicarakan ini semua.

"Just leave.." Bisikku lirih.

**

Aku keluar dari kamar mandi. Kepalaku sudah terbalut handuk. Rasa pening masih mengantam kepalaku di setiap langkah. Cukup lama aku berada di bawah pancuran shower. Berusaha membersihkan diriku. Yang ada aku masuk angin dan berakhir pening karena siraman showe.

Catching Wave with(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang