DUA PULUH DELAPAN

34.9K 3.4K 174
                                    

Bianca

Aku merasa sangat lelah ketika berusaha membuka mataku. Sedikit mengernyit dan seketika sadar kalau aku sedang berada di kamar rawat.

Perutku mengempis, tetap ada buncitnya walaupun tidak sebesar seperti ketika aku hamil. Aku merabanya, kemudian tersenyum kecil.

Bayiku dan Banesa sudah lahir.

Aku mengedarkan pandanganku dan menemukan Bu Putu yang tengah duduk di sampingku bangkarku. "Minum dulu sayang." Aku menuruti beliau dan menyeruput teh manis yang beliau tawarkan.

"Udah lahir ya Bu?" Tanyaku.

Bu Putu diam. Dia hanya mengelus rambutku. Matanya tiba-tiba berubah. Perasaanku tidak enak, jantungku bertalu cepat. "Bu?"

"Banesa pulang sebentar untuk ganti baju sama istirahat. Dia juga udah bersihin ari-arinya kemarin, setelah itu di tanam di pekarangan rumah kalian." Aku mengangguk kecil. Aku rasa itu memang ritual kalau bayi baru lahir, ari-arinya akan di bersihkan dan langsung di tanam di rumah.

"Boleh aku lihat? Laki atau perempuan?" Tanyaku lagi.

"Sebentar lagi Banesa ke sini ya, sayang. Tunggu aja."

"Bu, aku mau lihat bayiku."

Beliau mengecup puncak kepalaku dan berjalan keluar kamar. Aku butuh jawaban mengenai keberadaan bayiku, bukannya malah bahas yang lain.

Aku berusaha berdiri. Tapi rasa sakit menjalar di perut bawahku.

Aku ingat ketika Will tidak sengaja menyikutku dan menyebabkan aku terjatuh. Samar-samar aku ingat, ada banyak darah di sana, Banesa yang menggendongku. Tapi aku tidak ingat selanjutnya.

Pintu kembali terbuka ketika aku sudah duduk di tepi ranjang. Banesa kemudian berlari menuju arahku. "Aku mau lihat anak kita." Ucapku.

"Udah makan kamu?" Tanya Banesa.

"Udah, aku udah minum teh itu." Sahutku sambil menunjuk gelas teh manis di atas meja, "Ayo. Lihat si kecil." Pintaku.

"She's beautiful. Kaya kamu, matanya ngambil kamu, hidungnya ngambil aku." Kekehnya tapi aku tau ada suara sedih di sana.

"Ben, ayo.."

"Tidur dulu, istirahat. Kamu masih lemah." Dia berusaha membaringkanku lagi. Aku menepis tangannya.

"Aku mau lihat anak kita." Suaraku meninggi kali ini.

"Bianca.."

"Ayo. Antar aku. Pakai kursi roda, kamu gendong atau jalan aja. Terserah. Aku mau lihat anak aku."

"She's gone, Yan!" Hatiku mencelos. Banesa memelukku erat. Aku langsung terdiam. "She's gone. Daisy kita udah pergi.."

**

Banesa terus mengelus perutku yang semakin membesar di kehamilanku yang memasuki bulan ke-8. Menciumnya, mengajaknya bicara. Bayi kami. Aku sampai terharu melihatnya seperti itu. Umur hampir 34 baru bisa menimang bayi.

"Aku kesel kenapa kita nggak di kenalin dari dulu." Ujarnya sembari mendongak.

Aku tertawa kecil. "Memangnya kenapa?"

Catching Wave with(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang