William
Seharusnya gue ikut ke Sidney. Seharusnya Patricia ke Bali untuk berlibur. Seharusnya gue dan Bianca yang menikah.
Kacau. Pikiran gue kacau. Mood gue rusak.
Gue nggak jadi ikut ke Sidney, karena Patricia memohon untuk berlibur di Bali. Melepas penat setelah hampir tiga minggu menangani kasus apalah yang gue tidak terlalu paham. Pekerjaannya terlalu rumit bagi gue. Begitu gue membatalkan keberangkatan gue, dia dengan mudahnya membatalkan acara berlibur kami dengan alasan pekerjaannya menyuruhnya begitu.
Dan disinilah gue. Duduk di atas karpet ruang tamu Bianca, memandanginya yang sibuk memandangi undangan pernikahannya. Menulisi nama-nama daftar undangan yang sudah di pegangnya. Mengkerutkan dahinya, menggosok hidungnya ketika dia berpikir dan mengetuk-ngetukkan telunjukknya di pipi ketika dia bingung.
Membuat gue semakin sakit melihat semua gerak geriknya yang sudah gue hapal di luar kepala.
"Bantuin kek. Jangan cuma liatin gue doang." Gerutunya. Walaupun matanya masih berada di atas meja, dia sepertinya tau kalau gue memandangi dan memperhatikannya.
"Tulisan gue jelek."
"Ya apa kek, bantuin sortir gitu. Kalau nggak bisa, ambilin gue minum juga boleh." Sialan.
"Emang gue pembantu lo."
"Lo kan numpang disini." Gue mendengus, dia terkekeh. "Eh iya, udah hampir 3 bulan lo nggak balik ke New York. Kenapa?"
"Nggak ada siapa disana."
"Terus, disini ada Pat?"
"Nggak juga. Dia kan di Jakarta 48." Dahinya mengkerut ketika gue mengatakan itu. Kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Terserah lo deh." Dia kembali berkutat dengan undangannya.
Kembali diam. Hanya suara tv yang terdengar.
Saat ini dia cuma menggunakan boxer dan baju kaos gombrong yang gue yakini adalah milik tunangannya. Iya, mereka sudah bertunangan. Sudah bertukar cincin dan sebentar lagi akan menikah.
Udah ada undangan, artinya mau menikah kan?
"Lo udah pernah ngapain aja sama Ben?" Tanya gue iseng. Bukan iseng, penasaran. Banesa akhir-akhir ini selalu menginap di rumah Bianca. Tidak keluar kamar sepanjang hari, keluar hanya untuk mencari minum atau makan dan kemudian masuk lagi. Maniak mungkin.
"Kepo." Celetuknya.
"Ya kan sebagai sahabat, gue mau tau, dia pernah nyakitin lo nggak?" Jelas gue.
"Belum sampai tahap sana. Emang lo, setiap Patricia kesini, erangan kalian selalu membuat gue nggak bisa tidur dan akhirnya gue memilih tidur di mobil gue sendiri." Kekehnya.
Sialan. Memangnya iya?
"Seriusan?"
"Bercanda. Tapi kadang-kadang kedengeran sih, kalau gue sama Ben lagi nggak bisa tidur malamnya. Kami denger suara begitu, bikin gue sama dia jadi kikuk berdua."
Gue langsung cengengesan. "Berarti lo tau dong gue udah sampai tahap mana sama Pat?"
"Ya tahap buat anak kan?" Jawabnya. Gue mengangguk kikuk.
"Lo seriusan sama Ben belum sampai tahap begitu?" Bianca menggeleng sambil menulis nama di salah satu undangannya. "What is he? Gay?" Kalau gue jadi Banesa, pertama kali gue ngelihat Bianca, udah gue obrak abrik dia di kasur.
"Sembarang lo." Dengusnya. "Dia nggak mau nyentuh gue sampai kami nikah karena dia takut setelah dia tidurin gue, dia malah berubah pikiran dan lebih buruk, ninggalin gue." Jawabnya. "Sedikit lebih gentle daripada kalian semua, yang belum apa-apa udah ngajak cewek tidur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Wave with(out) You
Roman d'amour[18+] - Private What will happen then?