Sudah dua hari sejak aku mengatakan ingin bercerai dengannya. Sudah dua hari itu juga dia tidak mengungkit pembicaraan ini.
Ini usahaku memperbaiki hubungan yang semakin hari semakin rusak ini. Salah kalau aku meminta hal itu?
Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku tidak ingin membebani Banesa lebih lama lagi. Sudah gagal setia, gagal juga memberi anak.
"Ben, kopi kamu udah ada di decanter. Aku tinggal ke kantor ya." Aku berkata sembari masuk ke dalam kamar tidur kami. Dia masih bergelung di kasur.
Kami bahkan masih tidur seranjang.
"Hm." Gumamnya.
"Aku berangkat." Ujarku. Kembali di jawab dengan gumaman.
Aku masuk ke dalam mobilku. Sudah menjadi kebiasaan kami untuk bertukar mobil untuk beraktivitas sekarang. Dia dengan Rangerku, aku dengan Escapenya. Bahkan aroma mobil kami juga sudah bertukar. Tapi kali ini, aku memilih untuk menggunakan Rangerku.
Aroma Banesa menguar. Aroma pinus yang sangat aku rindukan. Ya Tuhan, aku benar-benar jatuh cinta padanya. Tapi aku bisa apa? Aku hanya kekecewaan untuknya.
Aku tanpa sadar sudah tiba di kantorku. Timku sudah berada di ruang kaca untuk memulai pertemuan kali ini. Pekerjaan yang awalnya membosankan menjadi kewajiban untukku. Menjadi kesenangan tersendiri bagiku. Menghabiskan waktu berjam-jam menangani klien yang ingin rumah impian mereka di realisasikan. Berusaha membantuku untuk membunuh rasa bersalahku pada Banesa. Membantuku untuk tidak sering-sering bertemu dengannya lagi.
"Bianca, bisa ke ruangan saya sebentar?" Aku menoleh dan ternyata Papa sudah berdiri di depan kubikelku.
Aku mengangguk dan mengikuti beliau. "Jangan lama ya, Pak. Saya ada ketemu sama klien lagi."
"Minta tim kamu yang mewakili." Suaranya tedengar dingin.
Aku pasti dalam masalah.
Begitu kami masuk ke ruangan beliau. Aku langsung duduk di sofa sementara Papa duduk di kursi kebesarannya.
"Kamu kenapa?" Tanya Papa. Aku mengerutkan dahiku. "Nggak biasanya kamu se-excited ini untuk kerja jadi arsitek. Rela lembur, rela on-site, panas-panasan demi kerjaan ini. Kenapa? Ada masalah di rumah?"
Aku menoleh ke arah Papa, kemudian menghela nafasku. "Biasa aja, Pa. Aku bosan kalau Ben terus di restoran, mending aku kerja. Iya kan?" Jawabku.
"Jangan bohong."
"Buat apa aku bohong?"
"Ben kemarin mampir ke sini, kebetulan kamu on-site. Dia nggak tau kamu ke lokasi. Akhirnya Papa ngobrol sama Ben.."
"Dia cerita apa?" Potongku.
"Dia sedih. Papa tau dia sedih, tapi dia nggak mau cerita. Katanya masih bisa di bicarain baik-baik sama kamu." Jawab Papa.
"Aku sama Ben.."
"Apapun itu, jangan sampai kalian pisah ya. Sudah susah-susah membangun, masa mau di hancurin gitu aja." Pesannya. "Jangan kaya kedua orang tua kamu, jangan kaya Papa sama Mama." Lanjut beliau.
Siapa sih yang ingin bercerai? Aku juga tidak ingin bercerai. Tapi untuk apa aku terus membuat Banesa merasa terbebani?
Aku terdiam mendengar Papa. Menundukkan kepalaku. Tidak ingin menatap beliau. Ingin rasanya aku menangis di pelukan beliau.
Aku merasa sofaku bergerak. Papa memelukku, aku balas memelukknya. Air mataku tidak bisa di tahan. Aku menangis. Di pelukan Papa.
"Aku kangen sama Ben, Pa. Aku cuma kekecewaan buat dia." Aku masih menangis di pelukan Papa.