TUJUH BELAS

37.2K 3.4K 78
                                    

Sepertinya William mendengar permintaanku dengan seksama. Dia tidak pernah terlihat lagi, sama sekali. Hingga Kharisma bingung sendiri di awal-awal kepergian William. Biasanya Will akan pergi seminggu dan paling lama dua minggu, kemudian kembali lagi ke Bali. Tapi tidak kali ini. Dia tidak pernah kembali. Bahkan untuk mengurusi restoran merekapun, William menyuruh orang lain untuk datang.

"Mana gue tau dia kemana." Sahutku ketika Kharisma bertanya apa aku sudah tau dia dimana.

"He did something bad to you, I know. Tapi please, kalian udah sahabatan lama. Udah sama-sama dewasa. Masa cuma gara-gara ini kalian jadi bubar jalan."

Aku mendelik, "Gara-gara ini? Lo bilang cuma gara-gara ini?"

"Bian.."

"He fucked me! Dia nidurin gue di saat gue mabuk. Lo bilang cuma? Perlu gue garis bawahi he fucked me, dua minggu sebelum gue nikah sama Ben?" Aku seketika kesal dengan Kharisma karena berada di pihak William.

"Bi.." Suaranya mengatakan kalau dia menyesal.

"Gue memang mabuk, Khar dan dengan gampangnya dia nidurin gue. Tega-teganya dia nidurin gue, bahkan ketika dia tau gue akan menikah! Sebrengsek-brengseknya Scott, saat gue mabuk, Scott nggak akan berani nyentuh gue." Kataku ketus. "Seharusnya dia ngelindungin gue, seharusnya dia ngejaga gue. Tapi.."

Kharisma berbisik. "I'm sorry.."

"Yeah. Me too."

Kami sedang berada di pinggir pantai. Beristirahat karena lelah menantang ombak. Ini pertama kalinya setelah empat bulan aku menikah, aku bisa kembali berselancar. Itu artinya sudah empay bulan William pergi dan mengikuti syaratku.

"Well, how's your marriage life?" Tanya Kharisma mengalihkan pembicaraan.

"Good. Gue baru tau gini rasanya punya partner hidup. Apa-apa harus kompromi." Jawabku.

Aku berhenti total dari pekerjaanku sebagai juru foto. Aku juga menjual beberapa kameraku, dan hanya menyisakan yang memang akan di gunakan nanti. Aku juga terjun sepenuhnya menjadi arsitek di firma Papa. Bukan permintaan Banesa atapun Papa, karena mereka menyerahkan semuanya padaku. Tapi memang kemauanku mengingat menjadi tukang foto terkadang mengharuskanku pergi jauh. Selain itu, aku juga harus menghasilkan. Aku tidak mau berakhir sebagai ibu rumah tangga dan harus mengemis pada suami ketika ingin membeli barang selain kebutuhan rumah tangga.

"Udah isi belum?" Tanya Kharisma.

"Belum nih. Tularin ke gue dong. Buat tiap hari tapi belum juga isi. Heran gue sama lo, beranak terus kaya kucing. Makan apa sih?." Kharisma tertawa.

"Gue juga heran, pakai KB tetep juga hamil lagi istri gue. Dia yang kelewat subur atau gue yang terlalu hebat." Tawa kami meledak.

Ponselku berbunyi. Nama Banesa tertera.

"Iya?"

"Masih di pantai? Aku udah selesai prep untuk dinner service."

"Masih. Nanti pulang jam berapa?"

"Mudah-mudahan nggak malem kaya kemarin ya."

Catching Wave with(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang