TUJUH

47.6K 4.2K 137
                                    

Bianca

Aku sedang sandaran di bed head sambil memangku laptop. Melihat hasil soft copy design yang sudah di revisi Deno padaku. Pekerjaan timku akhirnya selesai. Syukur klien kami puas.

"Yan.." Banesa sudah bangun sepertinya.

Dia datang kerumahku pukul empat subuh dalam keadaan berantakan dan lelah setelah melakukan dinner service kemudian lanjut revisi untuk beberapa resep yang akan di gunakan untuk acara resepsi pernikahan minggu depan. Tetap tampan, tetap gagah walaupun dia sedang suntuk.

"Ya? Udah bangun ya? Mau makan?" Tanyaku. Dia malah meringkuk dan memeluk pinggangku, membenamkan kepalanya di perut sampingku.

"Laper." Aku tertawa mendengarnya. Suara baru bangun miliknya benar-benar membuatku melayang.

"Ya udah, aku buatin sarapan. Kamu mandi dulu sana."

Banesa mengangguk kemudian menyingkap selimutnya dan ke arah kamar mandi. Tubuh Banesa tegap, tato bergambar hutan pinus terukir indah di punggungnya. Memenuhi punggung tegapnya.

Dia tidur tanpa baju karena dia memang tidak membawa baju ganti ketika datang bertamu ke rumahku. Dia memilih tidur tanpa baju karena kebetulan kaosnya sudah kotor. "Asem ah, gerah. Nggak enak." Ujarnya ketika aku menyuruhnya tidur pakai baju.

Tidak. Kami tidak melakukannya sampai saat ini. Kami tidur dalam arti sebenarnya. Beristirahat.

Aku langsung keluar dari kamarku. Membuatkannya sarapan seadanya. Hanya telur orak arik yang berisi potongan wortel dan cabai rawit karena dia suka semua berbau pedas. Aku juga membuatkannya kopi hitam tanpa gula.

"Yum." Dia berkata sambil menyesap kopinya. Apa rasanya kopi tanpa gula selain pahit? Kadang aku penasaran dengan lidahnya.

Kami duduk di kursi bar. Dia sarapan sementara aku menontonnya makan karena aku sudah makan tadi pagi ketika selesai memasukkan mobil Banesa ke garasi.

"Habis ini kemana?" Tanyaku padanya. Dia sudah terlihat segar. Tapi masih menggunakan bajunya kemarin.

"Ke Liura untuk lunch service, habis itu mau ketemu vendor wedding untuk bicarain resep yang kemarin semalam suntuk saya buat." Jawabnya di tengah kunyahannya.

"Enak?" Tanyaku.

"Lumayan."

"Daripada lu manyun." Kekehku. Dia tersenyum.

Tiba-tiba kepalanya sudah maju dan mendekati wajahku. Jantungku langsung  bertalu cepat. "Boleh kan?" Tanyanya. Aku mengangguk pelan.

Dia langsung menciumku. Lembut. Rasanya benar-benar memabukkan. Ciuman pertama kami. Di pagi hari yang cerah. Benar-benar membuat hariku akan sangat indah.

"Saya off hari kamis dan jumat. Saya boleh ngajak kamu ketemu orang tua saya untuk makan malam? Setelah itu kita nginap di rumah saya." Ajaknya.

"Boleh. Tapi.." Alis Banesa terangkat satu, "Jangan pakai saya dong, mas. Formal banget." Aku mengecup pipinya dan langsung mengambil piring kotornya untuk aku cuci.

"Kirain apa." Jawabnya.

**

"Lo ngerusak mood gue, William." Kataku ketika aku sedang berada di dapur dan dia sudah mulai merepet masalah hubunganku dengan Banesa.

"Kenapa lo nggak bilang sama gue kalau lo udah di lamar sama si brengsek itu?!" Teriaknya.

"Mungkin gue lupa. Namanya Banesa bukan brengsek! Bisa nggak sih lo nggak teriak? Ini rumah gue, ada aturannya. Dan aturan pertama adalah jangan teriak. Bisa?"

Catching Wave with(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang