DELAPAN BELAS

34.8K 3.4K 83
                                    

"Ben!" Aku teriak memanggil nama suamiku. Kami sedang bersantai di ranjang. Tapi dia malah sibuk mencorat coret kertas yang sudah lecek.

"Apa?" Dia bahkan tidak menoleh.

"Kertasnya lebih enak ya daripada aku?" Sindirku.

Dia tertawa, masih belum menoleh. "Bukan lebih enak, tapi lebih penting."

Aku mencubit pinggangnya. "Sakit, babe." Sungutnya sambil mengusap pinggangnya.

"Sana tidur aja sama kertas." Aku mematikan lampu tidur di sisi ranjangku. Kemudian berbalik memunggunginya.

"Aku harus buat menu baru untuk besok, Yan." Dia memeluk tubuhku dan mencium rambutku. "Jangan ngambek."

"Kerjaanmu apa sih selain buat menu? Tiap hari buat menu aja." Gerutuku.

"Ya ampun, Bianca. Ini buat restoran."

"Aku baru aja mau ngasih tau sesuatu, tapi menu yang kamu buat jauh lebih penting."

"Enggak. Menunya udah nggak penting lagi. Kenapa?"

"Aku hamidun." Aku membalik tubuhku dan menghadapnya.

"Hamidun artinya?" Dia menaikan satu alisnya bingung. Aku tertawa melihatnya.

"Aku hamil." Kataku lagi.

Dia mengerjapkan matanya kemudian tersenyum lebar hingga matanya terpejam. Lucu. Tapi kemudian senyum itu hilang.

"Kenapa? Nggak suka aku hamil?" Protesku.

"Kamu nggak lagi bercanda kaya waktu dulu kan?" Aku menghembuskan nafas lega.

"Ya enggaklah." Aku membuka laci nakasku, mengambil stik yang tadi pagi aku gunakan. "Nih." Aku memberikan stik itu padanya.

"Garis dua artinya hamil ya?" Aku mengangguk. Dia kemudian mengecup wajahku sambil mengucapkan terimakasih sampai aku meringis sendiri.

"Berapa bulan?" Banesa bertanya. Aku masih di perangkap di bawah tubuhnya.

"Belum tau. Aku juga lupa aku telat berapa lama, tapi kayanya telat sebulan setengah deh."

"Berarti baru sebulan setengah dong umur anak kita?" Tanya Banesa lagi.

"Ya nggak gitu juga cara hitungnya, Benny. Besok kita ke dokter. Kamu bisa? Sekitar jam empat sore gitu aku janjinya." Banesa berpikir kemudian mengangguk dan kembali mengecupku.

"Aku bisa titip restoran ke Michel sebentar. Bisa di atur lah." Ujarnya kemudian. Aku mengangguk, mengecup rahangnya. Menginginkannya

"Emang boleh?" Tanya Banesa.

"Nggak tau." Jawabku iseng. Dia berdecak. "Tapi aku pengin."

**

"Congrats!" Seru Maureen sambil memelukku. Aku baru saja kembali dari dokter, kemudian di antar oleh Banesa di rumah Kharisma. Katanya sih kasihan karena harus meninggalkanku sendiri. Dia yang awalnya mau menemaniku bergelung di ranjang seusai ke dokter, malah memilih ke restoran karena ponselnya tidak berhenti berbunyi dari David, manajer restorannya. Memintanya untuk memimpin dinner service.

"I know! Akhirnya punya anak sendiri." Aku pun merasa gemetar saking gembiranya.

Kharisma muncul sambil menggendong Sakha yang tenang ngedot, di tengah-tengah obrolan kami tentang bayi. "William barusan nelpon." Katanya santai. "Dia sama Pat di Bali, on the way kesini." Kharisma langsung menatapku. Begitu juga Maureen.

Aku seketika paham dengan cara mereka menatapku.

"Udahlah. Kejadian udah lama lewat. Jangan di bahas lagi." Ujarku sambil mengibaskan tanganku. Berusaha, benar-benar berusaha, untuk santai. Mereka mengangguk kecil.

Catching Wave with(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang