BAB 3

105 9 1
                                    

"Caca, bangun yuk,nak. Nanti terlambat lho." Naya menyentuh pundak Caca lembut. Sudah hampir lima belas menit dia berusaha membangunkan Caca, tapi belum juga berhasil. Naya sendiri bingung, Caca mewarisi sifat siapa untuk soal yang satu ini. Seingatnya dulu ketika sekolah, Ibunya tidak pernah susah membangunkannya. Bahkan Naya termasuk ada yang rajin dan pintar disekolahannya. Jadi melihat Caca begitu bertolak belakang dengannya tentang yang satu itu, membuat kening Naya tidak berhenti berkerut. Dia pasti mewarisi darah laki-laki itu. Laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Sejenak darah Naya berdesir setiap kali mengingatnya.

"Belum bangun juga,Nay?" Tanya Vanya yang baru saja keluar kamar mandi.

"He-eh. Udah lima belas menit gw bangunin tapi gak bangun-bangun." Gumam Naya pelan. Vanya tersenyum sambil mengeringkan rambutnya.

"Namanya juga anak-anak,Nay. Jangan terlalu dipaksa. Apalagi Caca baru empat tahun." Sahut Vanya.

Aku mendesah pelan,"iya,sih. Cuma kalau diterusin gini ntar jadi kebiasan malah bingung gw nya. "

"Enggaklah. Gitu-gitukan ada darah loe disana, jadi dia pasti gak jauh-jauhlah dari loe." Ucapan Vanya sontak membuat Naya  terdiam.

"Maaf. Gw gak bermaksud....." gumam Vanya ketika menyadari raut wajah Naya yang langsung berubah mendengar ucapannya. Vanya benar, di dalam diri Caca ada darah Naya tapi ada juga darah laki-laki itu.

Naya tersenyum tipis sambil menyentuh tangan Vanya yang merangkulnya,"gak pa-pa, Van." Bisiknya pelan.

"Mudah-mudah ada hal-hal baik yang dia turunkan dalam diri Caca." Gumam Naya lirih. Vanya semakin merasa bersalah mendengar ucapan Naya. Andai waktu itu dia memaksa Naya untuk datang ke acara pesta dansa, mungkin jalan hidup Naya tidak akan berubah seperti ini dan andaikan malam itu dia tidak mabuk dan membiarkan Naya sendirian, Naya pasti masih bisa meraih mimpi-mimpinya.

"Van, kok ngelamun?" Vanya tersentak kaget ketika Naya menyentuh pundaknya.

"Eeee....anu....enggak. Gak pa-pa." Jawab Vanya gugup.

Kening Naya mengkerut melihat sikap sahabatnya,"mikirin apa loe, Van?" Tanya Naya yang Sekarang sudah duduk disamping Vanya.
" Gw ngerasain bersalah sama loe,Nay." Bisik Vanya. Suaranya terdengar begitu lirih.
"Salah kenapa? Loe justru udah banyak bantuin gw, Van. Gw yang harusnya ngucapin terima kasih sama loe. Gw bukan cuma utang budi tapi juga utang materi dan semuanya." Naya merangkul pundak sahabatnya dengan erat. Hanya Vanyalah yang dia punya selama ini, hanya Vanyalah yang selalu ada untuknya. Keluarganya sudah benar-benar mencoretnya dari daftar nama besar Pramudya.
"Kalau bukan karena gw, mungkin loe gak akan begini Naya." Suaranya bergetar.
"Ini bukan salah loe,Vanya. Sumpah, ini bukan salah loe. Jangan terus nyalahin diri loe sendiri." Naya semakin mempererat pelukannya dipundak Vanya. Dia tidak akan membiarkan Vanya terus merasa bersalah. Tidak akan. Karena semua ini memang bukan salah Vanya. Cukup sudah empat tahun ini dia menyusahkan Vanya, dan membiarkan Vanya mengorbankan hidupnya untuk kebahagiaan Naya dan Caca seolah-olah ia ingin menembus kesalahan yang telah dia buat di masa lalu padahal untuk kesekian kalinya Naya meyakinkan Vanya bahwa ini bukan salah Vanya.

"Kalau gw gak maksa loe buat ngisi acara di pesta dansa waktu itu, loe gak akan ngalamin ini semua, Nay." Vanya mulai menangis dan itu hanya membuat hati Naya semakin terluka. Pesta dansa itu memang awal kehancuran hidupnya, tapi Naya tidak ingin menyalahkan siapapun , dia hanya mencoba untuk menerimanya dan menganggap semua ini adalah jalan hidupnya. Naya tidak ingin hidupnya yang sudah hancur semakin hancur karena terus meratapi nasibnya. Lagipula tidak ada yang bisa disalahkan, nyatanya malam itu dia juga mabuk berat.

"Ini jalan hidup gw, Van. Dan gw cukup bahagia dengan hidup gw sekarang. Awalnya mungkin berat, tapi gw yakin lama-lama gw akan semakin terbiasa. Sama seperti dulu ketika Caca belum lahir." Bisik Naya sambil mengingat saat - saat sulit ketika dia harus mempertahankan bayi yang ada di dalam kandungannya dan juga bertahan hidup. Dunianya benar-benar hancur sampai suatu titik dia merasa dirinya harus bangkit demi seorang anak manusia yang tidak berdosa ini. 

Stay With Me...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang