BAB 5

129 11 4
                                    

Seminggu sudah Naya bekerja di klub Escana, itu artinya waktu cuti yang diberikan oleh tempat kerjanya  di sebuah percetakan kecil sudah habis dan Naya harus memutuskan mana yang akan dia pilih. Bekerja sebagai tenaga admin disana  sebetulnya lebih manusiawi daripada di klub malam, hanya saja gaji yang dia terima terlalu kecil, tidak akan bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sedangkan bekerja di klub malam, mungkin terkesan tidak manusiawi tapi tips yang ia terima lumayan. 

Naya menarik nafas panjang. Seandainya dia bisa memilih, dia akan memilih bekerja di percetakan itu daripada di klub malam. Tapi lagi-lagi Naya seperti tidak punya pilihan, dia butuh uang.

"Terus loe milih yang mana,Nay?" Suara Vanya membuyarkan lamunannya. 

"Klub malam kayaknya, Van." Naya yakin sahabatnya tidak akan setuju dengan keputusannya, tapi mau gimana lagi. Dia harus memilih. 

"Loe gak salah,Nay? Tempat itu berbahaya, bisa-bisa loe jadi sasaran om-om yang ada disana." Protes Vanya. Naya tersenyum sambil melanjutkan memotong sayur-sayuran yang akan dia masak. Karena waktunya kosong sampai siang jadi Naya memutuskan untuk memasak sesuatu untuk Vanya dan Caca. Dia tidak enak kalau hanya duduk seperti tuan rumah di rumah Vanya sementara Vanya sudah banyak membantunya.

 Perumahan ini memang milik keluarga Vanya, dan itu alasannya kenapa Naya bisa tinggal disini. Vanya memberikan kemudahan pada Naya untuk membayar cicilan tiap bulannya walaupun Vanya sudah menawarkan pada Naya untuk tidak membayarnya tapi Naya menolak. Tidak enak rasanya berhutang budi terlalu banyak pada seseorang walaupun dia adalah sahabat kita sendiri. Apalagi selama seminggu ini, Naya sudah tinggal dirumah Vanya demi menjalankan masa percobaannya di klub. Dan mulai lusa, dia sudah bisa kembali menempati rumahnya dan menyewa seorang pembantu untuk menjaga Caca. Naya tidak ingin menjadi beban siapapun. Dengan tips yang dia terima di klub, Naya merasa sanggup untuk menyewa seorang baby sitter untuk Caca.

"Gw butuh,Van. Kan loe tau, gw harus bayar cicilan rumah, uang sekolah Caca dan buat kebutuhan gw sehari-hari." Jawab Naya.

Vanya yang tadi hanya mengintip Naya dari depan pintu dapur, sekarang sudah berada disampingnya sambil ikut membantu Naya menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak.

"Loe kan bisa kerja di kantor gw, Nay."

Naya tersenyum miring,"gwkan cuma tamatan SMA,Van." 

"Loe tau itu bukan masalah buat gw kan, Nay."

"Tapi masalah buat gw." Sahut Naya sambil tersenyum pada Vanya.

"Loe itu udah terlalu baik sama gw, Van. Gw gak mau lagi nyusahin loe. Takut susah balesnya." Keluh Naya dan dibalas dengan raut wajah cemberut oleh Vanya.

"Masih aja mikirnya gitu. Loe udah gw anggap saudara gw,Nay. Kalau loe mikirnya gitu, sama aja loe nyakitin gw." Sahut Vanya.

Naya menepuk bahu Vanya pelan,"gw tau...tapi gw gak mau jadi saudara yang cuma bisanya nyusahin doang." Bisik Naya. Vanya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban Naya. Untuk yang satu itu, Naya lumayan keras kepala. 

"Terserah loe,dech. Pokoknya kalau loe berubah pikiran, loe kasih tau gw. Kantor gw selalu terbuka lebar buat loe. " Jawab Vanya menyerah. Naya tersenyum tipis sambil pura-pura menyibukan diri dengan masakannya. Matanya selalu saja berkaca-kaca setiap kali menerima perhatian yang begitu besar dari sahabatnya. Sementara keluarganya sendiri tidak pernah sekalipun berusaha mencarinya. Naya benar-benar merasa hidupnya sebatang kara dan hanya Vanya dan Cacalah yang dia miliki sekarang. 

Sering kali setiap malam Naya menangis dalam diam. Sebetulnya apa salahnya? Semua ini adalah kecelakaan, dan bukan maunya. Naya tidak pernah menginginkan kejadian ini. Tidak sama sekali. Malam itu semua berjalan biasa saja, bahkan malam itu adalah malam terbaik yang pernah Naya rasakan.

Stay With Me...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang