12. Luka Bulan

2.8K 177 7
                                    

Di bawah langit mendung, seseorang berdiri terpaku tanpa pergerakan apa pun. Tidak ada yang bisa di perbuat nya, selain diam di depan dua gundukan tanah yang telah di hiasi bunga di atas nya. Dua nisan bertuliskan nama-nama orang yang sangat berarti dalan hidup nya.

Putaran kebersamaan yang penuh canda, tawa dan senyuman seakan hanya akan tinggal sebuah kenangan.

Air mata nya tertutup oleh tangisan langit yang seakan mengerti dengan perasaan pemuda itu saat ini. Kaki nya seakan tak dapat menopang berat tubuh nya lagi. Ia meluruh terduduk di samping gundukan tanah itu, di remas nya kuat-kuat batu nisan itu, bahu nya bergetar hebat akibat tangisan, ia menangis tertunduk dan terisak.

Tempat ini yang tadi nya ramai, kini hanya tersisa diri nya sendiri, menangisi takdir yang telah di berikan Tuhan untuk nya.

"Kenapa Mi, Pi, kalian tinggalin Rendi?"

Kecelakaan pesawat itu telah merenggut nyawa kedua orang tua nya. Kejadian yang sangat di kutuk nya seumur hidup nya, kejadian yang tidak akan bisa ia lupakan sampai kapan pun.

Rendi tersadar dari tangis nya, dengan cepat ia menghapus air mata nya. Ia melupakan seseorang yang harus di kuatkan nya untuk saat ini.

Rendi menoleh ke belakang, Bulan sudah tidak berada di balik pohon itu lagi. Dengan gerakan cepat dan nafas yang bergemuruh Rendi menerobos hujan begitu saja. Ia seperti orang kesurupan saat berlari, di kerahkan nya segala tenaga yang tersisa untuk mencari sosok orang satu-satu nya yang di miliki nya sekarang.

"Bulan !!!" ia tak henti nya
meneriakkan nama itu, ia mulai hilang arah, pikiran nya kacau, hati nya mulai tak menentu, ia mengusap wajah nya yang basah dengan gusar.
Kepanikan dan ke khawatiran tak dapat di sembunyikan pada wajah nya, ia kembali berlari di bawah deras nya hujan, dan tak henti meneriaki nama sang adik.

Sampai langkah nya terhenti di sebuah jalanan yang terlihat sepi, seorang gadis berseragam sd dengan kemeja putih di lampisi rumpi berwarna merah kotak-kotak, dengan rok selutut berwarna serupa dengan rumpi nya, berdiri membelakangi posisi Rendi sekarang. Bahu gadis itu bergetar hebat, dapat ia yakini bahwa dia sedang menangis.

Dengan gerakan pelan ia berjalan menghampiri gadis itu, ia ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan nya, memberikan kehangatan dan ketenangan.

Namun waktu seakan berhenti disini, saat Rendi terlambat, dan saat ia harus menyaksikan truk pasir itu dengan kejam nya  menghantam tubuh mungil gadis itu. Gadis itu terpental cukup jauh, dengan pendarataan yang sangat fatal, kepala bagian kanan nya terbentur sangat kuat, hingga menciptakan bunyi dentuman yang sangat keras, darah segar mengalir di bagian pelipis mata nya. Bukan hanya itu, dada gadis itu terhenyak mengenai batu yang cukup besar.

Langkah Rendi terhenti, kaki nya kaku, pandangan nya menatap gadis yang terkapar bersimbah darah itu, tubuh nya gemetar, air mata mengalir dengan ritme pelan, tubuh nya seketika tak bertenaga. Satu cobaan datang lagi di hari yang sama.

"Bulannnn !!!"

Rendi terduduk dengan keringat dingin membasahi wajah dan tubuh nya, detak jantung nya tak beraturan, nafas nya memburu.

Krekk...

"Rendi, kamu kenapa nak?" Pintu kamar terbuka, muncullah dokter Amara yang terlihat khawatir sembari berjalan tergesa-gesa. Wanita itu menyodorkan segelas air putih pada Rendi, guna menenangkan Rendi.

(Rem) Bulan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang