14. Penyesalan

2.8K 177 3
                                    

"Non, makan ya? Dari kemaren non BulBul belum makan!" wanita separuh baya itu tak henti nya berusaha menyorodorkan sesendok bubur pada Bulan, namun sama seperti menit-menit yang lalu, adik majikan nya ini tak kunjung membuka mulut, bukan hanya itu pandangan Bulan selalu kosong lurus ke depan.

Bi Ira menghembuskan nafas berat, ia sudah kehabisan cara bagaimana agar Bulan mau makan, bahkan sekarang ia ikut khawatir terhadap keadaan Bulan yang semakin hari semakin memburuk, anak yang biasa nya penuh dengan keceriaan , kini telah berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara, yang dulu wajah nya penuh dengan senyuman, kini senyuman itu seakan hilang begitu saja.

"Bi !"

Bi Ira menoleh. "Eh non Naomi."

"Dia gak mau makan?" tanya Naomi sembari melirik Bulan sebentar. "Enggak non. Pulang dari rumah sakit kemarin non Bulan gak kunjung makan, bibi jadi khawatir."

"Ya udah. Biar aku yang suapin." Naomi mengambil alih mangkok bubur itu, lalu duduk di kursi yang tadi di duduki oleh Bi Ira.

Mereka tepat berada di depan kolam berenang rumah Bulan. "Bul, makan dulu yuk ! Habis itu minum obat ! Trus istirahat, gue temenin." Dengan cara yang sama dengan Bi Ira tadi, ia menyodorkan sesendok bubur ke arah mulut Bulan. Tidak ada respon sama sekali.

Naomi menatap wajah pucat Bulan dari samping. Ia meletakkan mangkok bubur itu di atas meja, mata nya kini mulai berkaca-kaca, hendak menumpahkan semua yang ada di dalam nya. "Gue kecewa sama lo."
perkataan itu terlontar begitu saja, pandangan nya kini terarah ke depan.

"Lo bersikap kayak gini. Mau sampai kapan? Lo udah bikin orang-orang di sekeliling lo sakit tau gak. Bondan, Dokter Amara, Kakak lo, bahkan Bi Ira dan Pak Andi pun merasakan kehilangan lo yang sama." Naomi menormal kan nafas nya yang sesak akibat air mata. " Termasuk gue. Gue hancur lihat lo kayak gini Bul, lo bersikap seakan-akan gak ada lagi kesempatan lo buat lihat dunia lagi, lo bersikap seakan-akan kebahagiaan lo benar-benar hilang."

"Cuman karna satu orang, cuman karna cowok itu lo kayak gini ! Dia aja gak peduli sama lo, buat apa lo peduli in dia Bul. Buat apa ??" teriak Naomi.
Ia tidak bisa menahan emosi dalam diri nya lagi. "Kapan lo bisa bukak lembaran baru dalam hidup lo? Kapan lo berhenti bikin orang-orang yang udah peduli sama lo kecewa Bul? Terutama kakak lo, yang udah berjuang mati matian mempertahan kan lo sampai sekarang, tapi lo sendiri lah yang menghacurkan semua nya !!"

Naomi bangkit dari duduk nya, dengan punggung tangan nya ia menghapus air mata.

"Lo harus tahu Bul. Selagi lo masih stay sama rasa sakit lo. Jangan pernah berharap kebahagiaan abadi akan datang."

"Harapan lama gak akan bikin lo bahagia. Buka harapan baru, tinggalin apa pun yang lama."

Naomi melangkah meninggalkan Bulan yang masih diam tanpa pergerakan apa pun. Ia tidak mengerti dengan ucapan-ucapan nya tadi. Dan ia yakin, Bulan akan sakit mendengar semua itu, namun ia hanya ingin sahabat nya itu sadar bahwa tidak ada yang lebih indah selain melupakan sumber kesakitan itu. Dan Naomi siap menanggung setiap beban apa pun itu nanti nya yang akan di bagi oleh sahabat nya.

Naomi menoleh kembali ke belakang, pundak Bulan bergetar hebat, ia tahu gadis itu menangis. Itu lebih baik, dari pada dia diam tanpa melakukan apa pun. Terkadang menangis bisa meringankan beban yang di pikul.

🌙🌙🌙

"Jadi gimana dok perkembangan Bulan?" pertanyaan yang sejak semalam ingin di tanya kan nya pada dokter Amara, akhinya tersampaikan juga. Kemarin Rendi tidak sempat bertemu dengan dokter Amara karna keterlambatan nya.

Rendi menunggu jawaban dokter Amara dengan wajah tidak sabar.

Amara menatap tepat di manik mata Rendi dengan sorotan tidak tega. Ia khawatir pemuda ini akan semakin terpuruk nanti jika mengetahui kondisi adik nya.

(Rem) Bulan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang