Gadis mungil ini berjalan menuju ruang tamu. Ia tidak ingin seperti ini. Dirinya sangat menyayangi ke dua orang tua angkatnya. Hanya saja, ia masih belum bisa menerima semua ini.
"A.. Adera harus bayar buku buat tahun ajaran baru Bun, Yah." Dengan suara bergetar, ia memberanikan diri berbicara dengan ke dua orang tuanya. Seakan-akan melupakan kejadian semalam.
"Iya, besok ya, sekarang berangkat sama Ayah." Adera hanya menganggukan kepalanya.
Adera berangkat bersama sang ayah. Berhenti di lampu merah terlelet dan sampai di sekolah.
Bedanya, hari ini sang ayah tidak menggunakan seragam kerjanya. Setelah mencium tangan beliau, Adera berjalan menuju gerbang sekolahnya.
Huh, hari pertama memasuki sekolah. Hari Senin yang baru, adik kelas yang baru, teman kelas yang baru, dan suasana yang baru.
Adera berjalan menuju mading di depan ruang jurnalistik. Melihat namanya diantara deretan nama anak-anak kelas 12 IPA lainnya.
Mata Adera berhenti saat melihat namanya di deretan kelas IPA 4. Astaga! Bisa-bisanya ia masuk ke dalam kelas yang selalu menjadi buah bibir para guru di sekolahnya.
"Ck, males banget deh." Dirinya mendumel sendiri sambil berjalan menuju kelas yang kemungkinan diisi penuh dengan 'Para Monster' itu.
"Aderaaaa, My baby hany!" Suara cempreng itu datang menghampiri Adera.
Siapa lagi yang kalau bukan Dinda? Oke mungkin panggilannya mulai berganti pagi ini.
"Dera ih! Dipanggilin malah lemes gitu, yang semangat dong! Kita kan pagi ini bakal ketemu dedek dedek baru kita!" Dinda berbicara dengan sangat semangat, berbeda dengan Adera yang masih seperti orang bangun tidur.
Dinda yang mulai kesal mulai mencubit hidung sahabatnya yang satu ini, "Dinda apaan sih!"
"Abis, lo diajak ngomong juga kayak patung hidup, bengong mulu."
"Udah deh Din, Adera kan lagi ngantuk, tuh matanya masih kiyep." Kafka datang dan memeluk bahu ke dua sahabatnya ini.
"Ck. Gue nggak mood, jangan ganggu."
"Oooo, princess Adera marah ceritanya?" Nathan juga tiba-tiba datang dan merangkul pundak Adera.
"Lepasinnn!, kalian berdua berat tau nggak sih!"
"Enggak!" Kafka dan Nathan bebicara bersamaan. Kemudian mereka semua tertawa kecuali Adera.
Abhizar datang dan ikut berjalan menyamai langkah mereka disamping Nathan. "Yah, Pangeran Es dateng. Pantesan dingin."
Kafka berbicara menyindir Abhizar. Yang disindir hanya cuek dan tetap berjalan santai sambil memasukkan tangannya ke dalam saku.
"Tau nih, Pangeran Es kapan lelehnya?" Adera nyeletuk berbicara seperti itu. Padahal sudah mati matian ia tahan di dalam hati. Namun ujung-ujungnya ya merocot juga di mulut.
Tanpa mereka sadari, mereka menjadi pusat perhatian siswa siswi yang masih menggunakan seragam putih biru itu. Anak kelas sepuluh baru, memeperhatikan mereka yang berjalan di tengah lapangan Liberty.
"Eh gue masuk IPA 2!" Dinda berbicara memecahkan keheningan.
"Gue IPA 1 tadi gue liat sama Nathan." Kafka juga menyambung pembicaraan Dinda.
"Gue IPA 2." Abhizar ikut berbicara juga. Adera menghembuskan nafas kasar. Hanya dia yang sendirian di kelas monster itu.
"Gue di IPA 4 ih masaaaa!" Adera ingin menangis. Entah mengapa hari ini emosianya sangat tidak bisa dikontrol. Ini bukan masalah besar, namun air matanya sudah menetes.
YOU ARE READING
About Friend
Teen Fiction"Kamu ingat? Dulu kamu suka manjat pohon, kamu suka lari-larian, kamu suka jatuh di mana saja. Kamu memiliki banyak luka bekas jatuh. Saya dan kakak kamu dulu yang mengobati, tidak pernah orang lain. Bahkan, mamamu saja tidak mengetahui itu," ucap p...