007

18K 2.6K 115
                                    

|| Behind You ||

.

.

.

Eunike bangun dari ranjang klinik dengan meringis, meski sudah tidak sesakit sebelumnya namun tetap saja kondisinya belum begitu membaik.

"Makasih ya," ucap Eunike pada petugas klinik yang menanganinya.

"Loh, mau pulang sendiri? Ga minta diantar aja?" Pria berseragam rumah sakit itu menatap Eunike dengan khawatir.

Eunike menganggukan kepalanya. "Udah biasa juga. Duluan, ya." Lalu kakinya melangkah menuju kantor, mendorong pintu kacanya. Sementara karyawan lain berlalu-lalang di belakangnya, berebut untuk absen pulang.

Seperti biasanya, setiap jam pulang kantor percakapan hanya berisi celotehan tidak penting. Entah membicarakan mau kongkow dimana sehabis ini, membully sesama rekan kerja atau hanya tertawa-tawa.

Tangan Eunike membereskan meja kerjanya, merapikan barang-barang pribadinya kembali ke dalam tas miliknya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bergabung dalam percakapan yang terjadi. Begitu kegiatannya selesai, ia segera melangkah untuk pulang. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah segera berbaring di ranjangnya.

Menyebalkan. Kenapa harus ada Weza tepat dihadapannya? Eunike menahan gerakan kakinya. Ia berhenti sejenak, menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari celah. Sebelah kanannya sudah dipenuhi rekan kerja pria yang juga sama berengseknya dengan Weza, karena mereka satu geng. Sementara sebelah kiri, tidak ada pintu keluar. Eunike menghela napas, mengambil resiko untuk tetap melewati Weza. Dugaan Eunike salah, Weza sama sekali tidak menyapanya atau sekedar kembali bertanya apa dia baik-baik saja.

Tersenyum kecut, bukan pada sikap Weza, tapi lebih kepada pikiran tololnya sendiri. Eunike mengelengkan kepalanya tidak percaya, bisa-bisanya ia mulai mengharap perhatian. Inilah jeleknya wanita, sekali diperhatikan akan terus menerus minta diperhatikan. Seolah satu perhatian itu merupakan tanda ketertarikan, padahal memang hanya untuk sekedar kebaikan.

Terlalu lama sendiri dan tidak ada yang memperhatikannya membuat Eunike mulai berhalusinasi. Ia rasa, ia harus terus mengingatkan dirinya sendiri untuk mengabaikan Weza dan semua perhatian kecil yang dilakukankan pria itu. Ingatkan diri sendiri, bahwa Weza bersikap begitu hanya untuk menarik simpati Ayla.

Sialannya Weza. Kenapa perhatiannya itu seperti racun? Cepat sekali menyebar dalam tubuh, sampai rasanya Eunike tidak tahan dengan penderitaan yang dibuat Weza.

Begitu sampai parkiran Eunike segera menghidupkan mesin motornya. Selama menunggu sirkulasi oli lancar, Eunike memakai helm miliknya. Matanya lagi-lagi menemukan Weza.

Kenapa ketika ingin menghindari seseorang, tapi justru malah sering bertemu?

Eunike mengalihkan pandangannya. Ia tidak lagi menunggu lama, langsung melajukan motornya. Bisa makin sakit dia jika terus-terusan melihat Weza.

Perasaan yang tidak tenang dan perutnya yang masih sedikit keram, ia coba untuk tidak memikirkannya. Eunike terus melaju, menatap ke depan. Sampai akhirnya ia berhenti di salah satu SPBU, memarkirkan kendaraannya lalu berjalan cepat menuju toilet. Perutnya kembali sakit, darah kotor yang keluar dari tubuhnya begitu banyak. Ia mendesah begitu rasa sakitnya perlahan-lahan mulai mereda.

Without WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang