|| Karma ||
.
.
.
Sejak hari itu, Weza selalu menemani Eunike makan siang. Berkali-kali Eunike menghindarinya, sebanyak itu pula Weza terus mengejarnya. Gosip tentang mereka semakin menyebar, Eunike sudah tidak asing dengan berbagai tatapan menyelidik dan bisik-bisik yang terdengar di telinganya. Pertemanan dengan rekan-rekan wanitanya pun semakin merengang. Sebenarnya, Eunike ingin menjelaskan bahwa dia dan Weza tidak memiliki hubungan apapun. Namun, Eunike justru memilih diam dan menjauh perlahan. Ia rasa hanya akan sia-sia menjelaskan segalanya, mereka mungkin akan tetap salah paham lantaran sikap Weza bertolak belakang dengan yang ingin Eunike utarakan. Keadaan di kantor sudah membuat Eunike semakin tidak nyaman.
Kehidupannya yang tenang dan tanpa masalah tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Ia sudah tidak tahu lagi harus berlari dan bersembunyi kemana. Rumah dan kantor, keduanya sama-sama membuat Eunike lelah. Kadang ia ingin menyerah tapi dirinya tidak pernah bisa membiarkan hal itu terjadi. Sebaliknya, ia justru mencoba bertahan dengan keadaan. Perlahan-lahan ia coba membiasakan dirinya dengan segala kekacauan yang terjadi dengan bersabar. Satu kata klise memang, sayangnya hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.
"Mau sampai kapan kamu anggap aku invisible?" Weza melirik Eunike yang makan dengan tenang. Mata Eunike hanya tertarik melihat kotak makannya tanpa balas melirik Weza.
Jika memang Weza tidak bisa dihindari, Eunike akan membiarkan Weza berada di sekitarnya. Namun, bukan berarti Eunike akan membiarkan Weza mengacak-ngacak wilayahnya begitu saja. Pria itu boleh berada di dekatnya, bukan berarti Eunike akan memberikan hatinya begitu saja. Eunike masih percaya, bahwa Weza hanya akan membawakannya luka. Daripada ia harus menangis nantinya lebih baik ia menjadi batu keras kepala yang berpura-pura buta dan tuli. Eunike harap, Weza akan segera menyerah, sebab dia mulai lelah menjalani kehidupan seperti ini selama sebulan penuh. Eunike takut jika ia tidak bisa sekuat ini menjalani bulan-bulan berikutnya.
"Masih ga mau bicara? Oke." Weza menganggukan kepalanya. "Aku akan terus monolog sampai kamu mau berdialog."
Eunike mencoba menikmati ikan pepes dan acar yang sedang dikunyahnya. Sialnya, bukan rasa nikmat yang dirasakan, justru dia tertusuk duri ikan. Eunike meringis, terbatuk-batuk lalu mengambil air minumnya.
"Pelan-pelan, Nik." Weza menatap Eunike khawatir. Tangannya sudah ingin mengusap punggung Eunike namun begitu Eunike menatapnya tajam penuh peringatan Weza mengurungkan niatnya.
Eunike meminum airnya cukup banyak, untungnya duri tersebut tidak tersangkut.
Weza diam sejenak, menatap wajah Eunike yang merah dengan sisa tangis di sudut matanya. Ia tampak tersiksa dengan duri ikan yang dimakannya. Weza menghela napas, lalu menarik kotak makan Eunike.
Eunike mengerutkan keningnya, masih tidak mau bicara.
Weza menyingkirkan duri-duri dari ikan pepes milik Eunike. Danging ikannya disisihkan Weza ke atas nasi Eunike. Weza mungkin berpikir bahwa dia bisa menarik simpati Eunike dengan sikapnya.
Sayangnya Eunike justru memilih untuk menyelesaikan makannya lebih cepat. Eunike meninggalkan kotak makannya dengan Weza. Kakinya berjalan pergi dari kantin untuk kembali ke kantor. Hilang sudah selera makannya, sama seperti siang-siang sebelumnya. Sejak ada Weza yang terus membuntutinya, memang sedikit sekali Eunike bisa makan sampai habis tanpa sisa. Mungkin ia juga sudah kehilangan beberapa kilogram berat massa tubuhnya.
Eunike belum ingin mati sekarang, ia masih punya keluarga yang menjadi tanggungannya. Jika memang ia tidak bisa bertahan hidup di kantornya yang sekarang mungkin ia bisa mencari pekerjaan lain. Sesampainya di meja kerjanya, Eunike membuka e-mail pribadinya. Matanya mencari-cari surel balasan dari beberapa perusahaan yang sempat dilamar olehnya. Sebelumnya ia tidak pernah berpikir untuk pindah kerja di tempat lain, meskipun perusahaan yang menaunginya sekarang tidak memberikan banyak penghargaan untuk kerja kerasnya selama ini. Selain uang, Eunike memang mencari kenyamanan dan ketenangan. Namun kini ia sudah tidak bisa mendapatkan semuanya, berkat Weza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Wings
ChickLit[Pemenang Storysmiths Wattys 2017] Dua tahun berada di tempat yang sama, kadang kala saling bertatap muka atau sekedar betegur sapa sebagai sopan santun belaka. Tapi siapa yang sangka, bahwa sebuah kedekatan hanya perlu ada satu pihak yang memutuska...