016

15.7K 2.3K 113
                                    

|| Harapan dan Kekecewaan ||

.

.

.

"Gimana kalau aku melanggar poin terakhir dari perjanjian kita, Za?"

Weza menggaruk belakang kepalanya. Sejujurnya ia merasa amat sangat bodoh sekarang, sedikitpun ia tidak mengerti apa maksud Eunike. Ia mencoba mengingat-ingat isi perjanjian sialan itu.

"Belakangan ini kamu sering banget melanggar. Sesekali aku yang melanggar, nggak apa-apa, kan?" Eunike meraih tangan Weza lalu mengenggamnya erat.

Weza mengerutkan keningnya, menatap Eunike yang mengalihkan pandangannya. Wanita itu menatap lurus ke depan. Ia membimbing Weza kembali menyusuri pasar Asemka sekali lagi sebelum pulang. Tangan Weza masih berada dalam genggaman tangan Eunike yang jauh lebih kecil darinya bahkan sampai mereka tiba di stasiun. Weza tentu saja senang, ini yang selalu diharapkannya. Berjalan bersama Eunike seperti sepasang kekasih yang dibalut asmara. Bukannya sebagai teman dengan segala aturan yang mengekang dirinya.

Mereka membeli roti isi, minuman dan beberapa cemilan di 7 Eleven. Selayaknya pacar yang baik, Weza menanyakan apakah yang mereka beli cukup untuk Eunike. Wanita itu hanya menganggukan kepalanya dengan malu. Selama aksi Eunike yang tidak terduga ini, Weza selalu melihat pipi Eunike yang kemerahan. Bibir Eunike yang digigitnya dengan gelisah. Tangannya yang sedikit basah, tapi enggan melepaskan. Semua hal Weza amati dengan seksama.

Eunike memang terlihat sedang memaksakan dirinya sendiri. Jika memang ia malu melakukan ini semua, kenapa ia berbuat sejauh ini? Padahal sebelumnya Eunike marah pada Weza yang berani menggodanya di pasar dengan salah satu pedagang yang menganggap mereka pasangan. Namun kini, Eunike yang sengaja mengoda Weza dengan melanggar poin nomor lima. Peraturan yang melarang mereka saling menyentuh jika tidak terpaksa.

Weza memiliki pertanyaan besar dalam benaknya, tapi lebih memilih mendiamkannya saja. Pasti ada alasan kuat dibalik sikap Eunike yang berubah padanya. Weza tidak ingin terlalu senang dulu, sebab dia takut kecewa. Belakangan ini Weza menarik satu kesimpulan, pemberi harapan palsu dalam hubungan ini sesungguhnya adalah Eunike. Bagaimana cara wanita itu membuat Weza dibiarkan masuk kehidupnya lalu kembali disisihkan, membolak balikan keadaan semudah membalik telapak tangan. Pola yang terus dimainkan Eunike berulang-ulang. Tarik ulur perasaan Weza.

Bagi sebagian besar pria mungkin beranggapan Weza terlalu naif. Namun bagi Weza, Eunike memang layak diperjuangkan untuknya. Jika dengan wanita lain, Weza belum tentu akan merelakan egonya diinjak-injak begini. Meskipun Weza juga tidak benar-benar ikhlas menjalani hari-harinya disiksa oleh Eunike. Ya, dia tetap ingin imbalan, mendapatkan Eunike luar dalam secepatnya.

Keinginan Weza untuk menikah bukan sekedar rayuan untuk Eunike. Dia memang sudah merencanakannya. Hidupnya juga sudah mulai lelah. Weza juga butuh bahu, dimana dia bisa menopang dagunya di sana dan melepaskan keluhannya. Dia butuh seseorang yang bisa mendengarnya tanpa menghakiminya. Wanita yang akan mengelus punggungnya atau pipinya dengan lembut seraya berkata, "kamu sudah bekerja keras dengan baik, Za." Lalu mereka akan berpelukan, saling menguatkan untuk menjalani kehidupan. Weza ingin kalau wanita itu adalah Eunike.

"Za...." Eunike memanggilnya lembut.

Weza menundukan sedikit kepalanya. Mereka sudah sampai dibarisan untuk membeli tiket, antrian yang cukup panjang meski loket penjualan tiket untuk kembali ke kota lumbung padi tersebut masih ditutup dan baru akan dibuka duapuluh menit lagi. Wajah lelah Eunike membuat Weza tersenyum, ia harap semua keringat dan tenaga mereka hari ini bisa terbayar dengan usaha gelang-gelang Eunike yang semakin laris nantinya.

Without WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang