|| Memantaskan Diri||
.
.
.
Eunike benar-benar pergi, sudah hampir dua bulan wanita itu tidak ada kabar sama sekali. Awalnya Weza masih sering berkirim pesan pada Eunike. Kadang kala mereka juga bercerita panjang lewat panggilan suara, meski bukan jenis percakapan manis. Kebanyakan pokok bahasan yang mereka bicarakan adalah pekerjaan atau hal-hal tidak penting lainnya. Eunike tidak lagi mengungkit masalah keluarganya, Weza pun tidak pernah bertanya. Bagi Weza, masih bisa dekat dengan Eunike saja sudah luar biasa. Weza juga tidak pernah lagi menyerempet tema tentang perasaannya. Bukannya karena ketakutan Weza sudah hilang atau dia sudah merasa tenang seutuhnya melepas Eunike. Namun karena Weza tidak ingin menambah beban Eunike semakin banyak.
Eunike mengajarkan Weza bahwa di dunia ini uang bukan segalanya itu omong kosong. Mau tidak mau, suka tidak suka, uang selalu jadi sumber utama masalah sebagian besar manusia. Alasan lain Weza tidak lagi gencar mendekati Eunike karena Weza sadar, dirinya bukan siapa-siapa. Keberanian Weza sedikit pupus, kadang dia merasa tidak layak untuk Eunike. Seharusnya Eunike memiliki seorang pria yang bisa lebih kuat darinya, yang bisa membantu hidupnya. Sementara Weza masih level profesional belum manajerial, gajinya pun masih dipotong cicilan rumah yang baru berjalan setahun. Rumahnya juga masih perlu banyak perbaikan dan beli perlengkapan untuk mengisinya. Tabungan Weza juga tidak terlalu banyak. Dulu dia berani mengajak Eunike menikah karena merasa Eunike akan bisa menerimanya yang hanya segini saja. Eunike yang berbeda dengan wanita kebanyakan pasti siap dan kuat hidup sederhana. Eunike memang begitu adanya, tapi Weza tidak tega jika harus membuat Eunike semakin susah. Dia juga tidak bisa gegabah, menginginkan Eunike untuk jadi miliknya harus juga siap menerima semua tanggungan Eunike pindah jadi tanggung jawabnya.
Seorang wanita yang bisa disebut sebagai tulang punggung keluarganya tidak akan semudah itu dilepaskan untuk jadi istri seseorang yang bahkan belum bisa disebut mapan. Cinta tidak sebatas memiliki hati sang wanita pujaan. Namun juga harus memiliki kemampuan memberikan kehidupan yang lebih baik. Jika hidup sang wanita masih sama susahnya seperti sebelum menikah, lalu untuk apa dia menikah? Hanya membagi beban pada suaminya agar terasa lebih ringan? Lalu bagaimana kalau justru bebannya malah jadi dua kali lipat? Tidak ada jaminan yang pasti. Sebab hidup berumah tangga tidak semudah kelihatannya. Tidak segampang novel-novel marriage life yang sebagian besar hanya tentang salah paham dan ujian kekuatan cinta tentang orang ketiga. Jauh daripada itu, banyak masalah-masalah dasar dan sederhana yang justru jadi pemicu timbulnya pertengkaran rumah tangga. Percaya atau tidak, sebagian masalah itu uang lah penyebabnya.
Weza tidak berani menghubungi Eunike lagi setelah pesan dan panggilan terakhirnya yang tidak terbalas itu. Weza malu, tidak tahu apa yang bisa dia tawarkan lagi pada Eunike. Wanita itu mungkin memang sedang sibuk dengan pekerjaan dan hidupnya yang baru. Lalu siapa Weza berani menganggunya?
"Za! Melamun aja lu dari tadi." Olla menyenggol lengan Weza, membuat pria itu terperanjat.
"Kenapa lu, Za?" Kie menghentikan kerupuk warung masuk ke dalam perutnya, dibiarkan mengantung begitu saja di depan bibirnya.
"Sorry, gue lagi cape aja. Perjalanan jauh nih dari Karawang." Weza memberikan cengiran, berharap para sahabatnya sejak kuliah itu maklum.
"Bohong aja lu." Tama mendengus. "Bilang aja lagi mikirin Eunike," sindir Tama tepat sasaran.
"Heh! Siapa lagi tuh? Gebetan baru lu, Za?" Olla langsung menarik lengan Weza, menatapnya tajam meminta penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Wings
ChickLit[Pemenang Storysmiths Wattys 2017] Dua tahun berada di tempat yang sama, kadang kala saling bertatap muka atau sekedar betegur sapa sebagai sopan santun belaka. Tapi siapa yang sangka, bahwa sebuah kedekatan hanya perlu ada satu pihak yang memutuska...