||Bertahan dan Bersabar||
.
.
.
Hujan masih setia beriringan bersama beberapa petir di luar sana. Weza yang sudah selesai mandi kini sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Hidungnya berkali-kali bersin, dia pikir bergaya pahlawan di depan Eunike tidak akan membuatnya sakit. Sialnya dia terkena flu secepat ini. Weza mengosok ujung hidungnya ketika Tama mengetuk pintu kamarnya.
"Za, lu udah pulang?"
"Masuk aja, Tam." Weza menjawab panggilan Tama. Tidak lama sahabatnya itu sudah muncul dari balik pintu dengan seringaian menyebalkan.
"Abis ketemuan sama Eunike ya lu?" Tama beringsut ke kasur Weza dan mulai menjajahnya.
Weza diam tidak menjawab, tapi bagi Tama hal tersebut sudah menjelaskan segalanya. "Udah lama nggak ketemu dia kok cuma sebentar?"
"Buat apa juga?" Weza menyandarkan kepalanya di sisi ranjang, tangannya sibuk memilah saluran televisi yang terasa tidak menarik sama sekali.
"Udah nyerah?" Tama kembali bertanya, meski Weza terlihat malas membuka sesi wawancara.
"Nggak," jawab Weza singkat.
"Terus kenapa lu lesu banget kaya belum makan seminggu gini?" Tama bergeser, merebut remote di tangan Weza. Pria itu pasrah tidak melakukan perlawanan pada Tama.
"Pusing aja, nggak punya duit." Weza kembali mengosok hidungnya yang gatal.
"Lah bukannya lu lagi ngejalanin bisnis franchise makanan hits itu? Calon CEO sukses masa nggak punya duit." Tama mengerutkan keningnya bingung.
Weza mengelengkan kepalanya lemah. "Gagal, Tam."
"Hah? Gagal? Maksud lu usaha lu nggak berhasil?" Tama segera berpindah tempat dan duduk di sisi Weza. "Kok bisa?"
"Nggak ngerti," jawab Weza sambil mengangkat bahunya. Jujur saja dia tidak ingin menceritakan masalahnya ini pada siapa pun. Bahkan pada para sahabatnya sendiri. Bukannya dia tidak ingin berbagi, tapi sepertinya masalah ini memang lebih baik dipikirkan sendiri. Weza tidak ingin tampak mengenaskan dan dikasihani oleh siapapun. Hal itu hanya akan membuatnya semakin patah semangat dan menyesal dengan kesalahannya. Lebih baik dia menyimpannya sendiri dan memikirkan cara bangkit dengan memeras otaknya, bukan otak orang lain.
"Lah masa nggak ngerti sih lu?" Tama menatap Weza bingung. "Terus sekarang gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Jangan bacot lu ke yang lain ya!" Weza mengingatkan.
"Heh, kampret! Kita tuh sahabat lu. Lagian lu tuh kenapa sih? Sejak ngejar Eunike lu jadi makin aneh." Bibir Tama tertarik salah satu sudutnya, matanya memicing curiga.
Weza bersin cukup keras, dia kembali mengosok hidungnya. "Gue mau tidur aja lah, lu nggak usah bawel kaya perempuan. Ganggu tau!" Weza merangkak ke atas ranjangnya, menarik selimut dan memejamkan matanya. Kepalanya yang pusing dan hidungnya yang gatal sudah cukup menganggu dirinya. Tidak perlu lah Tama menambah bebannya lagi. Sebab sudah ada satu manusia yang sibuk mengusiknya sejak hatinya tertaut. Eunike yang seenaknya memporak-porandakan perasaannya, bahkan hidupnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Without Wings
ChickLit[Pemenang Storysmiths Wattys 2017] Dua tahun berada di tempat yang sama, kadang kala saling bertatap muka atau sekedar betegur sapa sebagai sopan santun belaka. Tapi siapa yang sangka, bahwa sebuah kedekatan hanya perlu ada satu pihak yang memutuska...