019

14.9K 2.4K 107
                                    

|| Salah Paham Membawa Rindu ||

.

.

.

Eunike mengembuskan napasnya seusai menyelesaikan pekerjaan terakhirnya walaupun waktu pulang masih sepuluh menit lagi. Bekerja di perusahaan yang sekarang membawa Eunike ke kehidupan yang lebih baik. Perlahan-lahan dia bisa memiliki beberapa teman yang menyenangkan, berbeda dengan perusahaan sebelumnya yang kebanyakan diisi oleh pegawai usia duapuluh sampai awal tigapuluhan. Di perusahaannya yang sekarang, lebih banyak karyawan seniornya. Itulah sebabnya Eunike tidak menemui beberapa orang yang masih berpikiran kekanakan. Kebanyakan karyawan sudah berkeluarga dan matang, sehingga Eunike tidak perlu takut dipergunjingkan atas hal-hal sepele tidak penting seperti sebelumnya. Sebagian dari rekan Eunike justru lebih merangkul dirinya. Persahabatan yang mereka tawarkan lebih hangat dan mendewasakan. Eunike benar-benar bersyukur bahwa keputusannya untuk pindah sudah tepat. Terlepas dari keberadaan Weza yang semakin menjauh.

Weza, entah sudah berapa lama Eunike tidak mendengar suaranya atau menatap wajah pria yang selalu menyenangkan untuk dipandangi itu. Eunike membuka aplikasi chat di ponselnya. Membaca pesan terakhir Weza yang tidak terbalas olehnya. Jujur saja Eunike lupa, mungkin terlalu sibuk untuk membalasnya. Namun kenapa juga Weza tidak lagi mengirim apapun padanya? Sekedar untuk menyapa, tanpa harus menunggu jawaban misalnya.

Eunike jadi berpikir yang tidak-tidak. Mungkin Weza sudah bosan bermain-main dengannya. Mungkin Weza sudah lelah menunggu. Mungkin Weza sudah menemukan wanita lain yang lebih bisa menghargainya. Begitu banyak kemungkinan yang membuat Eunike tidak berani membalas pesan Weza atau menghubunginya. Eunike membiarkan keadaan ini terus berlanjut bahkan hampir enam bulan lamanya. Sampai akhirnya hari ini dia kembali menatap layar ponselnya yang menampilkan nama Weza dan tanda online.

Eunike merindukan pria itu sejujurnya. Namun terlalu takut untuk menghubunginya. Pikirannya dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk dan perasaan takut kecewa. Kini jemarinya berkhianat, mereka mengetik beberapa kata. Mata Eunike terpejam begitu pesan yang dikirimnya tidak mendapatkan balasan apapun dari Weza. Penyesalan diam-diam menyusup ke dalam relung hatinya. Ingin dia membatalkannya tapi percuma saja, hal tersebut tidak dapat dilakukannya. Eunike hanya membaca pesannya dengan perasaan hampa.

Eunike Adriyani
Za... apa kabar?


Pesan standar tapi benar-benar menyesakan. Eunike bukan sekadar basa-basi bertanya kabar Weza. Dia sungguh ingin mengetahui keadaan pria itu sekarang. Perasaan rindu yang ditahan seakan tak mampu lagi dibendung. Eunike mencoba mengabaikan segala rasa takut yang menghalanginya selama ini. Dia juga menyingkirkan semua pikiran buruknya. Namun kini dia kembali terdampar dalam kecewa yang dibuatnya sendiri. Seharusnya jemarinya tidak perlu berkhianat seperti ini. Bahkan kepedihan mulai menjalari matanya yang memanas. Tidak seharusnya dia seperti ini, kan?

Eunike ingin menyerah tapi juga ingin kembali berusaha. Tidak tau harus memutuskan apa. Dia masih terombang-ambing dalam satu ruang kebingungan dan penyesalan. Kenapa dia tidak mencoba menghubungi Weza duluan sejak enam bulan lalu? Setidaknya dia tidak perlu menahan diri dengan gengsi atau pikiran tolol yang belum tentu benar terjadi. Ataupun kalau memang dia harus kecewa, dia dapat segera mengetahuinya sehingga bisa lebih cepat mengambil langkah pergi. Bukan justru bertahan sendiri lalu menderita meratapi perasaannya karena rindu yang tidak pernah tersampaikan.

Eunike mempersiapkan dirinya untuk pulang. Tangannya sibuk membereskan meja kerjanya, mecari kegiatan untuk mengalihkan pikirannya yang kacau. Tepat ketika bel kantornya terdengar, tangannya menyentuh ponsel yang bergetar. Sebuah pesan masuk dari Weza.

Without WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang