022

15.8K 2.3K 119
                                    

|| Without Wings ||

.

.

.

Seperti yang Tama katakan, hubungan Weza dan Eunike sudah seperti layangan, tarik ulur sampai menunggu benangnya putus saja. Lalu keduanya tidak akan saling terhubung lagi. Orang bilang cinta tidak bisa dipaksakan, tapi bagi Weza dia harus memaksa. Setidaknya Weza bisa memberikan jaminan pada Eunike bahwa dia akan melakukan upaya terbaik untuk wanita itu. Jika Weza tidak memaksakan cintanya, dia tidak percaya pada pria mana Eunike bisa berbahagia. Orang mungkin bertanya-tanya kenapa Weza membuat dirinya susah payah mengejar seorang wanita yang tidak pernah serius menanggapinya. Terserah saja orang lain mau bilang apa, sebab Weza sudah tau apa yang dia butuhkan dan inginkan. Semuanya ada pada wanita yang kini sedang menatapnya ragu, sudah sejak lima menit lalu mereka bertemu dan hanya diam membisu.

Weza menarik tangannya yang semula tergeletak di atas meja menjadi lipatan di depan dada. Eunike tidak seperti biasanya, pertemuan kali ini bukan Weza yang meminta tapi Eunike yang bersikukuh mereka harus bertemu. Terlepas dari pertemuan terakhir mereka yang memang kurang menyenangkan dengan pertengkaran. Weza masih tetap merindukan Eunike, masih setia memikirkan Eunike sementara otaknya tetap bekerja keras memikirkan jalan keluar dari masalahnya sendiri.

"Bagaimana usaha gelang-gelang kamu, Nik?"

Mendengar pertanyaan Weza, kepala Eunike sedikit terangkat. "Lancar, Za. Sekarang Rikna udah bisa buat gelang sendiri, jadi kadang nggak semua orderan aku yang handle. Meskipun Rikna belum bisa sampai tahap model gelang yang agak rumit."

Weza tersenyum, wajah menyenangkan dan enak dipandangnya jadi semakin membuat Eunike ingin menatapnya lebih.

"Kamu belum pernah cerita, gimana caranya kamu bisa kepikiran buat usaha gelang-gelang begitu?"

Kedua alis Eunike tertaut, dia memutar memorinya mencari peristiwa beberapa tahun lalu. "Aku sih awalnya nggak niat jualan, Za. Aku memang suka buat kerajinan tangan sejak sekolah, sampai akhirnya aku tuh buka-buka Pinterest dan ngeliat banyak banget DIY yang lucu-lucu. Tadinya cuma kepikiran buat untuk diri sendiri, penyaluran hobi dan ngilangin stress gitu sih." Eunike tertawa malu.

Weza tidak turut tertawa dia hanya tersenyum menyaksikan bagaimana cara Eunike bercerita tentang dirinya, seterbuka ini di hadapannya. Selama ini, jarang sekali mereka saling menelanjangi hidup masing-masing. Daripada berbicara, keduanya lebih sering berkomunikasi dengan tatapan dan sentuhan sederhana.

"Terus?" Weza menopang dagunya, menatap Eunike penuh minat.

Wajah Eunike memang tidak terlalu istimewa, bukan jenis wanita yang akan dilihat dua kali oleh laki-laki yang memandangnya. Eunike bukan wanita cantik dan penuh prestasi yang bisa membuat wanita lain iri padanya. Eunike juga bukan wanita baik hati dan ramah pada siapa saja. Dia hanyalah wanita biasa seperti kebanyakan wanita Indonesia lainnya. Namun ada sisi Eunike yang menyentuh hati Weza begitu mencoba mengenalnya.

"Ya terus aku juga buatin Rikna dan teman-temannya jadi pada mau dibuatin juga. Ide untuk dijual itu ya dari Rikna. Terus setelah aku pikir-pikir kenapa aku nggak coba aja." Eunike sudah mulai terlihat lebih santai sejak pertama kali dia menginjakan kakinya di salah satu restoran yang ada di dalam pusat perbelanjaan terbesar di Karawang.

"Pernah nggak kamu hampir menyerah karena usaha kamu nggak berkembang?" Weza kembali memikirkan usahanya yang kandas begitu saja. Rasa penasarannya semakin melebar, ia ingin mengetahui apa saja yang sudah Eunike alami selama membuka usahanya sampai kini.

Without WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang