||Pacar, Keluarga dan Teman||
.
.
.
Eunike mengabaikan Rikna yang sudah kembali duduk di sebelahnya, meletakan dua cangkir berisikan teh hangat tepat di sisi dos perlengkapan dan bahan-bahan gelang.
"Udah terlanjur dibuat, sayang kalau ga diminum." Rikna mencoba membuka percakapan, sementara Eunike tidak menanggapi.
Tangan Eunike sibuk menyelesaikan gelang yang sedang dikerjakannya. Meskipun pikirannya sibuk memikirkan hal lain, jauh dari perihal gelang-gelang. Ketakutan, rasa sakit yang tidak diharapkan dan kesedihan yang semakin sering hadir tanpa diundang.
Pintu kamar kembali terbuka, sosok Ibunya lagi-lagi muncul. Eunike masih berpura-pura tenang, menundukan kepalanya hanya agar gelang di tangannya lah yang terlihat.
"Kamu ga usah macem-macem, Nik. Jangan seperti Kakakmu itu! Udah cukup masalah yang ada, kamu jangan tambahin lagi." Ibunya mulai mengomel tanpa bertanya lagi, seolah memang tidak percaya pada pernyataan Eunike sebelumnya ---yang sudah bilang bahwa Weza bukan pacarnya.
Rikna melirik Eunike yang masih diam tak bicara, tangan Eunike masih sibuk bekerja.
"Gak usah pacar-pacaran. Kamu juga ga tau apakah si Weza itu anak baik-baik, apa dia itu cuma mau mainin kamu atau cuma mau manfaatin kamu aja. Liat aja gayanya kaya gitu, motor sama penampilannya keliatan ga bener. Bisa jadi dia sama aja kaya si Bima."
"Aku ga pacaran sama Weza, Bu." Eunike akhirnya bersuara, mulai panas telinganya mendengar semua omelan yang sebenarnya sudah sangat Eunike mengerti tanpa perlu Ibunya jelaskan.
"Terus ngapain dia ke sini dan ngaku jadi pacar kamu? Jangan jadi tukang bohong kaya Kakakmu, Nik." Ibu Eunike meningkatkan volume suaranya.
"Udah deh, Bu. Ga usah buat aku semakin pusing. Ga usah takut juga, aku beneran ga pacaran sama Weza. Ga usah dengerin omongan dia." Eunike meletakan gelang di tangannya ke lantai dengan hentakan kesal.
"Gimana Ibu bisa percaya sama kamu? Ga mungkin dia berani ke sini dan ngomong kaya gitu kalau kalian memang ga ada hubungan apa-apa! Bapak kamu lagi sakit, Nik. Inget!" Ibunya menyalak, menatap Eunike dengan geram.
Eunike berdiri, menghadapi ibunya secara langsung. "Aku tau, Bu. Ga perlu Ibu marahin aku kaya gini. Aku tau posisiku di rumah ini tuh sebagai apa. Tenang aja lah, aku akan terus bekerja buat kalian. Ga usah takut juga, aku ga akan buat masalah. Aku cuma minta Ibu berhenti menekan aku kaya gini. Aku cape!" Setengah berteriak Eunike membalas Ibunya, bukan sikap yang patut ditiru. Namun kenyataannya, ia memang sudah sangat lelah menghadapi semua ini.
Diambilnya dompet dan ponselnya, lalu Eunike beranjak pergi. Ia tidak menghiraukan panggilan Ibunya yang terus-terusan membentaknya dengan lantang. Eunike tidak ingin kepalanya meledak jika terus mendengar ucapan menyakitkan Ibunya. Sudah cukup, daripada ia terus membalas semua perkataan itu dengan lebih menyakitkan, lebih baik ia pergi saja.
Bukannya lari dari masalah, bukannya ia ingin jadi anak durhaka. Eunike hanya lelah. Ia ingin sekali saja tenang tanpa masalah. Ia juga hanya manusia biasa, ia tidak bisa selamanya kuat dan sabar menghadapi keluarganya. Saat ini mungkin ia kesal dan marah. Ada masanya, ia juga tidak terima diperlakukan sebagai mesin pencari uang begini. Namun meskipun begitu, Eunike akan tetap kembali pada keluarganya. Sejahat-jahatnya dia, tetap saja ia tidak akan tega meninggalkan keluarganya, hanya saja untuk sekarang, biarkan Eunike pergi sebentar. Otak dan hatinya perlu beristirahat sejenak dari kepenatan hidupnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/72420895-288-k685225.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Wings
ChickLit[Pemenang Storysmiths Wattys 2017] Dua tahun berada di tempat yang sama, kadang kala saling bertatap muka atau sekedar betegur sapa sebagai sopan santun belaka. Tapi siapa yang sangka, bahwa sebuah kedekatan hanya perlu ada satu pihak yang memutuska...