001

49K 3K 185
                                    


|| Weza Yassar Arundaya ||

.
.
.

Waktu kerja baru saja berakhir tapi hampir semuanya sudah mulai merapikan berkas-berkas pekerjaannya dan barang-barang pribadinya. Bahkan para wanita sudah berlarian saling mengejar untuk berebut ke toilet. Weza masih mengerjakan laporannya, ia memilih mengabaikan Tama yang mulai menarik-narik kursinya seperti bocah.

"Tam, ga usah kampret deh kelakuan lu. Tanggung nih!" Weza akhirnya menyerah karena kini jarak kursinya sudah terlalu jauh dari meja kerjanya. Tangan Weza kesulitan mengapai mouse dan keyboard, jadi ia lebih memilih menoyor kepala Tama yang lebih mudah dijangkau.

Tama semakin sulit dikendalikan, kini ia merangkul Weza seperti seorang pacar yang posesif. Teman-temannya yang lain tertawa-tawa melihat muka murka Weza karena tingkah Tama. "Ga usah rajin-rajin lah Za, udah gajian ini. Pencitraan mulu lu, jabatan juga ga naik-naik."

Agak jleb, sih omongan Tama yang satu ini. Serajin apapun Weza, karirnya memang seperti malas beranjak dari tempatnya. Sebenarnya bukan hanya dia, tapi hampir seluruh karyawan selevelannya di perusahaan mengalami hal ini. Perusahaan sedang melakukan cost down besar-besaran, dan gaji karyawan menjadi pertimbangan. Kenaikan performance appraisal kemarin dipukul rata tanpa peduli apakah karyawan tersebut lebih rajin dari yang lainnya. Tidak adil memang, tapi Weza bisa apa?

"Gila Za, bini lu minta dimanjain itu!" Tawa Febrian semakin menjadi-jadi ketika Tama memukul-mukul lengan Weza dengan manja, ia kemudian duduk di sebelah Weza dan memandangi wajah temannya itu dengan gaya sok prihatin.

"Iya nih, Aa Weza kerja terus. Aku ga diperhatiin. Kesel deh! Kapan mesra-mesraannya kalau gini," rajuk Tama dengan suara dibuat segenit dan secewek mungkin.

"Muahaha sumpah gue geli banget anjir sama kelakuan lu Tam!" Anjar melempar gulungan kertas dari kubikelnya sampai hampir mengenai kepala Tama yang tidak peduli lagi dengan urat malunya yang putus.

"Bangke emang lu ya Tam!" Weza menyerah, ia sudah tidak sanggup lagi melawan Tama yang sudah mulai miring otaknya. "Lepasin dulu deh, mau shutdown komputer nih."

"Minta lepasinnya yang mesra dong Aa Weza," Febrian mengoda dengan mulut kurang ajarnya. Tapi yang Weza heran kenapa semua temannya bisa tetap merasa bahagia saja dengan segala keadaan yang ada.

Apa cuma dirinya yang tidak pernah bersyukur dan merasa puas?

"Cium dulu itu bininya!" Anjar menambah kenistaan yang ada, Weza sudah mulai pening meladeni kelakuan busuk teman-temannya. Masalah pekerjaan, masalah karirnya yang stuck dan kini kelakuan bejat Tama dan teman-temannya.

"Sampah emang lu semua! Siapa aja tolongin gue coba." Weza mulai frustasi dikepung pasukan perusak ketenangan hidupnya.

"Gue sih mau tolongin lu Za, tapi kok sayang aja rasanya kehilangan momen romantis lu sama Tama kalau dipisahin sekarang." Bang Haris ikut-ikutan menimpali. Sungguh sial nasib Weza kali ini, tidak ada yang bisa ia harapkan untuk berpikiran normal dan melindunginya.

Tiba-tiba terdengar suara tawa perempuan, satu-satunya perempuan yang masih ada di office dan bukan di toilet. Eunike menutup mulutnya ketika sadar semua mata rekan kerja prianya yang ada di sana kini tengah menatapnya. "Sorry Za, aku juga ga bisa bantu." Begitu ucapnya ketika dengan terang-terangan Weza memberikan kode agar Eunike menolongnya.

"Ga ada yang bisa memisahkan cinta kita Aa Weza." Tama mulai menyodorkan bibirnya menuju wajah Weza. Kelakuan Tama makin kampret saja, Weza pun memberontak sekuat tenaga. Ogah banget dikecup sama si Tama, banci kaleng sialan ini.

Without WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang