012

16.8K 2.4K 123
                                    

|| Friendzone ||

.

.

.

"Yakin kamu ga mau beli minuman sama pop corn dulu, Nik?" Weza bertanya lagi untuk kesekian kalinya pada Eunike. Mereka sedang berjalan menaiki tangga untuk mencari kursi yang sesuai dengan nomor tiket mereka.

"Aku udah bilang ga mau. Kalau kamu mau, ya beli aja sendiri. Enggak usah rewel. Kalau kamu masih berisik aja, mendingan aku batalin acaranya terus pulang." Eunike melangkah lebih dulu, meski ia tetap tidak akan bisa mendahuli Weza.

Weza tersenyum kecut. "Dingin banget sih, Nik. Biasanya yang cool itu cowok loh."

"Itu kan, biasanya." Eunike duduk di tempatnya, menganggap enteng percakapan tidak pentingnya dengan Weza. "Aku tuh luar biasa," sambungnya.

"Enggak diragukan lagi." Weza kembali tersenyum lalu duduk di sebelah Eunike. Ia sangat setuju dengan ucapan Eunike tentang betapa luar biasanya wanita itu. Wanita mana yang tidak baper setelah didekati seintens itu, kecuali Eunike.

Sesosok wanita pekerja keras, mandiri dan tidak pernah mengeluh. Wanita yang juga kuat meski kadang Weza sendiri tidak tega melihatnya kesusahan gara-gara dijauhi teman-teman wanitanya. Namun Eunike tidak pernah membalas semuanya, ia bahkan tampak biasa saja setelah sekali menangis. Weza tidak mengerti bagaimana cara Eunike bisa bertahan dalam situasi tersebut, kadang Weza kagum sekaligus miris. Ia selalu bertanya apakah Eunike benar baik-baik saja?

Matanya masih tidak bisa beranjak dari Eunike. Terserah jika Eunike mau berteman saja, Weza tidak masalah. Selama Eunike tidak menjauhi dan memusuhinya itu sudah cukup untuk Weza saat ini. Ia bisa melangkah lagi nantinya saat Eunike siap. Ya, semoga saja jangan lama-lama. Weza takut Eunike keburu diambil orang. Jika hal tersebut terjadi, Weza tidak yakin apa ia bisa mengikhlaskannya.

"Kenapa kamu selama ini bersembunyi, Nik?"

"Aku enggak sembunyi, kamu aja yang enggak pernah perhatian sama perempuan lain yang bukan selera kamu." Eunike menatap cuplikan film lain yang ada di layar lebar. Sementara penonton lain mulai memadati tempat duduk masing-masing.

Weza menelan liurnya, pahit juga mendengar ucapan Eunike. Ia tidak bisa membantah dan cuma membisu seperti seorang terdakwa.

"Tapi itu wajar kok, laki-laki pasti melihat perempuan dari fisiknya dulu. Enggak usah merasa terbebani dengan ucapan aku. Lagian aku juga udah terbiasa jadi pemeran figuran." Eunike tersenyum aneh tanpa melihat ke arah Weza. Pandangan Eunike masih terpatri ke layar besar yang sudah mulai menampilkan peraturan bioskop.

"Kalau kamu jadi pemeran figuran aja udah seluarbiasa ini, apalagi kalau jadi pemeran utama. Aku jadi---" Weza terpaksa membungkam suaranya, tangan Eunike sudah menutup mulutnya rapat.

"Filmnya udah mau mulai. Kalau kamu masih ngoceh gini, lebih baik kamu pindah tempat duduk atau pergi aja sekalian." Eunike akhirnya melirik Weza, tepat ketika lampu dimatikan dan munculnya suara bergema ---khas bioskop sebelum memutar film. Ancaman Eunike jadi terdengar lebih menyeramkan.

Weza tersenyum, Eunike bisa melihatnya dari lekukan mata Weza dan pergerakan bibir pria itu yang menempel di telapak tangannya. Eunike segera menarik tangannya, tapi Weza lebih dulu menahan tangan Eunike dengan kerlingan jail.

Without WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang