|| Mengejar Yang Pasti ||
.
.
.Siang itu Weza dengan berani menghampiri kubikel Ayla lalu memintanya makan siang bersama. Tepukan dan siulan dari teman-temannya saling bersahutan, membuat Weza serasa diawang-awang. Kepercayaan dirinya sudah diisi penuh, ia cukup yakin bahwa Ayla pasti akan mengiyakan ajakannya. Melihat mata Ayla yang bersinar terang dengan senyuman tertahan diantara kedua pipinya yang kemerahan.
"Jadi, gimana Ay? Mau ga makan siang sama gue? Bentar lagi jam istirahat nih." Weza melirik arloji di pergelangan tangannya.
Ayla meletakan pulpen di tangannya, mengeser sedikit duduknya agar bisa lebih sejajar dengan Weza. Ia tersenyum tipis dengan anggukan kecil, "boleh."
Teriakan para penonton semakin riuh.
"Lega rasanya hati gue sekarang," Weza meletakan tangan kanannya di dada kiri.
"Anjiiirr Weza lu gercep banget!" Febrian nyeletuk dari belakang Ayla. Weza membalasnya dengan mengangkat bahunya.
"Bau-bau jadian sebentar lagi nih," Bang Haris bersiul-siul dari kubikelnya.
"Jangan lupa aja pajak jadiannya Za!" Anjar mulai kurang ajar. Perlu banget apa jadian pun kena pajak? Masih kurang beratus-ratus ribu tiap bulannya sudah dihabiskan membayar pajak ke negara?
Weza mengedarkan pandangannya mencari sosok Tama yang sedang memutar bola matanya dengan agak kesal. Senyuman kemenangan Weza terkembang, langkahnya untuk mendapatkan Ayla sudah semakin dekat.
"Iiih apaan sih!" Ayla menepuk-nepuk pipinya yang semakin merah. Caranya malu begitu manis, membuat Weza gemas ingin memeluknya saja.
Mungkin Weza belum benar-benar jatuh cinta pada Ayla tapi melihat wanita itu selalu bertingkah mengemaskan begini, Weza hanya butuh hitungan mundur untuk menetapkan hatinya. Siapa tau Ayla jodoh yang selama ini ia cari. Seseorang yang mampu membuat Weza bertahan untuk tinggal pada satu hati dan tidak ingin pindah atau mencari yang lain lagi.
"Gimana kalau kita aminin aja Ay? Biar mereka juga seneng." Weza terkekeh namun Ayla justu mendorong lengan Weza dengan telapak tangannya.
"Iiih udah aaah sana. Bikin malu aja sih Za!"
"Cie ... cie ... makin frontal aja Za!" Febrian terus ngomporin. Weza sih seneng-seneng aja, semakin teman-temannya ikutan menggoda Ayla, semakin Weza puas melihat rona kemerahan di pipi Ayla yang membuatnya betah tidak mengedipkan matanya.
Sampai akhirnya ada suara bersin dan mata Weza teralihkan dari Ayla ke sosok Eunike. Wanita itu sedang menggosok ujung hidungnya, pandangannya fokus menatap layar monitornya. Terlihat sama sekali tidak terpengaruh dengan situasi yang sedang ribut. Weza jadi ingat kejadian semalam, ketika para wanita membicarakan Eunike. Sebelumnya ia tidak tau bagaimana sifat wanita itu. Karena Eunike memang bukan jenis wanita yang memiliki karakter menonjol, sehingga Weza tidak pernah memperhatikannya.
Bedanya, sekarang Weza jadi memperhatikan Eunike gara-gara gosip semalam. Gosip yang dibicarakan Ayla dan wanita lainnya. Eunike yang tidak pernah mau diajak main bersama. Eunike yang tidak pernah makan di luar. Eunike yang selalu sendirian. Eunike yang tertutup dan tidak pernah membicarakan dirinya. Eunike yang tidak asik. Eunike yang tidak seru dan Eunike yang sepertinya tampak salah di mata para wanita di kantornya karena memilih jadi berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Without Wings
أدب نسائي[Pemenang Storysmiths Wattys 2017] Dua tahun berada di tempat yang sama, kadang kala saling bertatap muka atau sekedar betegur sapa sebagai sopan santun belaka. Tapi siapa yang sangka, bahwa sebuah kedekatan hanya perlu ada satu pihak yang memutuska...