9; Topi dan Kenangan

49 8 3
                                    

"Coba waktu bisa di ulang, aku nggak akan sudi jatuh cinta sama kamu. Coba kamu nggak baik, mungkin aku nggak akan bawa perasaan gini. 'Coba-coba' aja terus sampai Manurios lamar aku."

***

NILAM memberengut sebal ketika topi untuk upacara tertinggal. Perasaan tadi malam cewek itu sudah memasukannya ke dalam tas bersamaan dengan buku-buku pelajaran di hari senin.

"Anjir... anjir... anjir... tai kok gue pikun sih? Jadi ingin berkata kasar di hari senin, ah bego!" Nilam terus merutuki dirinya. Seperti orang bodoh, cewek itu terus memukul-mukul kepalanya.

"Pasrah aelah kena hukuman dari Pak Dinu botak!"

Nilam menyerah, terus merutuki keteledorannya toh tak membuahkan hasil. Si topi tak akan datang dengan sendirinya. Siap-siap saja terkena hukuman dari Pak Dinu yang notabenenya guru piket dihari senin yang terkenal sadis.

"Pake aja," Nilam tercengang kaget ketika sebuah topi mendarat tepat di kepalanya, diiringi suara berat yang sangat Nilam kenali.

"Sebentar lagi upacara di mulai." tepukan di pundaknya berhasil membawa Nilam kembali ke dunia nyata. Rasanya cewek itu sedang bermimpi. Dimas memberikkan topi padanya lalu bagaimana nasib cowok itu?

Tak mau ambil pusing Nilam segera berlari menuju lapangan. Dengan senyuman yang tiba-tiba terbit dari sudut bibirnya. Hanya perlakuan sekecil itu saja, jika Dimas yang melakukannya Nilam selalu baper dan cewek itu benci atas perasaannya.

***

Nilam terbebas dari hukuman berkat Dimas dan cewek itu harus berterimakasih pada mantan gebetan yang tak lain kekasih mantan sahabatnya.

Nilam menggeleng, terkekeh miris. Mantan gebetan-mantan sahabat, kenapa terdengar lucu, sih.

Kini Nilam sedang duduk sendirian di meja pojok kantin. Menikmati bubur ayam Mas Parjo dan sebotol air mineral yang di bawanya dari rumah.

Cewek itu jadi ingat ketika dulu sehabis upacara seperti ini pasti Nilam, Aulia dan Ifya akan menikmati bubur ayam diiringi celotehan-celotehan tak bermutu dari Aulia. Nilam sering tertawa ketika Aulia sudah mengeluarkan lawakan-lawakannya, Nilam juga akan tertawa jika sesekali Ifya menimpali lawakan Aulia dengan nada polos dan halusnya.

"Anjir, lo tau gak?" Saat itu Aulia berseru heboh namun, matanya memancarkan keseriusan.

Ifya meneguk air mineralnya lalu menatap Aulia, "Nggak tau, kan belom dikasih tau." ujar cewek itu seraya menggeleng polos.

Sedangkan Aulia sudah memancarkan wajah sebalnya. "Makanya di dengerin dulu, sayang. Jadi tadi 'kan gue berangkat sekolah ya eh tetangga gue yang anak kuliahan ganteng itu nyapa terus senyum gitu, nggak kuatlah gue di gituin sama cogan akhirnya gue teriak dan sujud syukur depan dia sambil bilang gini 'akhirnya setelah sekian lama bang Rendy senyumin gue!'

Terus reaksi dia gini: 'dek sehat?' Nah, gue baru sadar ternyata gue se idiot itu." Tak tahan, tawa Nilam akhirnya menggelegar. Pun dengan Ifya cewek kalem itu tertawa sampai mengeluarkan air mata.

Yang di tertawakan hanya mendesah pasrah. Mempunyai sahabat-sahabat biadab seperti mereka harus mempunyai berlipat ke lapang dadaan. Namun, tak urung saat itu Aulia tetap melanjutkan ceritanya;

"Terus disitu 'kan gue udah tengsin abis, ya. Gue cuma cengar-cengir cantik aja ke bang Rendy dan dengan sadisnya dia bilang gini; 'dek abis ini ke rsj, ya. Kayaknya kamu punya kelainan deh.' Tai banget tuh cowok mentang-mentang calon dokter seenaknya aja diagnosa gue punya kelainan." Aulia mengakhiri ceritanya dengan bibir yang mengerucut sempurna. Apalagi ketika melihat tawa ke dua sahabatnya yang tak kunjung mereda.

"Kalau gue jadi lu ya, nggak mau lagi deh ketemu bang Rendy. Anjir malunya itu, loh." kata Nilam masih dengan sisa tawanya.

Ifya menormalkan napasnya, berusaha menghentikan tawa imutnya. "Kalau jadi kamu rasanya pas bagian bang Rendy bilang; 'dek abis ini ke rsj ya, kayaknya kamu punya kelainan.' Pengin hilang aja dari bumi. Itu malu banget, Ul." baru kali ini Ifya berapi-api menanggapi hal yang tidak penting, biasanya cewek itu menimpali dengan raut biasa saja.

"Udah ah, kalian mah bikin gue tambah eteb."




"Bengong aja," Nilam tersenyum singkat pada Rafaro yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Bagus, kali ini kehadiran Rafaro membuat lamunan Nilam buyar. Lagi pula sesak jika terus mengingat kenangan singkat persahabatannya.

"Masih mikirin doi?" Rafaro seperti mengutip kata doi membuat Nilam memutar bola matanya malas. Ketika cowok itu menyebut doi pandangannya terarah pada dua insan yang tengah bercengkrama.

Membuat Nilam mau tak mau melihat ke arah itu. Pandangan kosong ke arah sana, sedikit hatinya tercubit ketika Aulia mencubit gemas pipi Dimas. Segera Nilam mengalihkan tatapannya, sakit melihat kemesraan itu.

"Sori,"

Alis Nilam menaut ketika Rafaro mengatakan maaf. Untuk apa, tanya Nilam tanpa suara.

Rafaro terseyum, mengerti isyarat yang di ajukan Nilam. "Lo jadi kepikiran doi lagi." Nilam mendengar jelas ada nada penyesalam disana. Ketahui, ini bukan salah Rafaro, Nilam saja yang terlampau bawa perasaan.

"Nggak kok." kilah Nilam, "Gue 'kan udah move on." katanya semeyakinkan mungkin, tapi Nilam tidak tahu Rafaro tidak se bodoh itu.

"Kalau gue percaya, musyrik 'kan, ya." gurau cowok itu dengan kekehan yang menampakkan lesungnya.

"Semerdeka lo deh," ujar Nilam final. Cewek itu menegak air mineralnya lalu mengelap area bibirnya dengan tisu. "Gue duluan ya, Kak."

Dan Rafaro hanya tersenyum melihat langkah Nilam yang semakin lama tak terlihat. Apa Rafaro bisa mengambil hati cewek itu?

***

"Thanks, Dim."

Dengan keberanian penuh Nilam menghampiri Dimas yang asik mecatat. Guru di mata pelajaran terakhir berhalangan hadir, beliau hanya memberikkan tugas untuk merangkum dan Nilam sudah selesai mengerjakannya.

Omong-omong buntut Dimas aka Aulia sedang keluar kelas jadi Nilam berani menghampiri cowok itu.

"Iya." suaranya berat dan datar. Membuat hati Nilam tercubit lagi.

"O-ke." Sesingkat itu, kemudian Nilam kembali ke bangkunya dengan Ifya yang di belakangnya tengah memandang Nilam dengan pandangan abstrak.

Acuh tak acuh cewek itu kembali duduk di bangkunya. Menyumpal pendengarannya dengan headseat menelengkupkan kepala di lipatan tangan, masih ada satu jam untuk bel pulang berdering dan Nilam menghabiskannya dengan tertidur.

***

Yeay! Double update lagi:')

Forgive My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang