Aku masih terdiam menatap kaset kosong yang ada di tanganku. Ingin memasukkannya kembali namun ada secercah keraguan untuk mengungkap cerita lama. Masa-masa dimana kita pernah sedekat itu. Masa-masa yang rasanya tak bosan jika kuceritakan terus menerus. Tapi, semakin kuceritakan, rasanya semakin jauh dirimu dari genggaman.
Aku menghela napas.
Aku harus tetap melanjutkan ini.
Saat itu, pembagian loker dan kuncinya—sebuah kebiasaan setiap tahun setelah dua minggu bersekolah. Ini tahun keduaku mendapat loker. Artinya, aku akan mendapat loker di lantai dua, di depan kelasku. Aku menyenangi fakta tersebut. Artinya, aku tidak perlu repot-repot naik turun tangga hanya untuk loker.
Ya, saat tahun pertama, kelasku di lantai dua, lokerku di lantai tiga. Benar-benar sebuah fakta yang menyenangkan. Naik turun tangga dengan rok yang menyapu lantai. Indah sekali.
Kembali ke pembagian loker.
Aku berjalan ke luar kelas untuk mencoba memasukkan kunci lokerku di loker baru yang berada di hadapanku. Hebatnya, kunci tersebut bisa masuk, namun tidak dapat membuka pintu loker.
Aneh sekali.
Akupun segera melaporkan kejadian itu ke wali kelasku. Beliau hanya tersenyum dan berkata, "Nanti ya, saya urus,"
"Berapa lama, Pak?"
"Minimal dua minggu,"
Dua minggu? Kupikir wali kelasku hanya bercanda, sebab ia suka melucu.
"Serius, nih, Pak?"
"Heh, bikin kunci itu lama."
Aku terdiam. Ada benarnya, sih. Tapi, dua minggu? Aduh malas sekali rasanya membawa tas berat seperti orang hendak naik gunung.
"Pake tukang kunci ahli, Pak. Ntar jadinya tiga hari."
"Ngawur kamu."
Hari selanjutnya, aku telat datang ke sekolah. Sesuai peraturan, siswa yang telat harus menunggu di luar sepanjang jam pertama dan kedua.
Dengan senang hati, aku berjalan ke arah perpustakaan yang tak jauh dari kelasku. Lumayan, bisa tidur.
Tiba-tiba, pintu perpustakaan terbuka. Aku sempat takut itu seorang guru. Sebab, seharusnya siswa telat hanya menunggu di depan kelas, bukan perpustakaan.
Ternyata, itu kamu.
"Gue kira lo gak masuk," suara berat khas dirimu mulai menyapa.
"Gue telat,"
"Oh, kirain mau ngehindarin tes lari hari ini,"
Aku tersenyum. Kamu ingat aku tidak menyukai segala yang berbau olahraga.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 : Adiksi
Teen FictionKetika aku merekam seluruh perasaanku untukmu dalam sebuah kaset, terkadang aku ingin kamu mendengar seluruhnya. Tapi, kurasa kamu tidak ingin dengar karena kamu tidak peduli. Namun, setidaknya, izinkan aku teradiksi olehmu. Izinkan aku jadi yang me...