KASET 6 : Tentang Yang Diam-Diam

1.3K 179 9
                                    

Aku tidak begitu ingin menceritakan ini, sejujurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak begitu ingin menceritakan ini, sejujurnya. Tapi, sudahlah. Lagipula, aku sudah memutuskan untuk berdamai dengan seseorang yang bersangkutan.

Saat kamu semakin menjauh dan aku semakin bertanya-tanya, ada seseorang yang muncul dan memperkenalkan dirinya sebagai jawaban. Kukira dia memang jawaban atau bahkan penyelesaian.

Tapi, bahkan matematika mengizinkan adanya dua atau lebih penyelesaian pada setiap persamaan maupun pertidaksamaan. Ada yang tepat dan ada yang kurang tepat.

Orang ini adalah satu dari penyelesaian. Namun sayangnya, kurang tepat.

Sebut saja namanya C. Dia adalah orang yang terbilang dekat denganmu. Dia cewek. Kurasa aku perlu menjelaskan itu sebelum kalian mulai bertanya-tanya.

C baik. Dia datang dan membuatku nyaman. Dia berusaha memancingku dengan cerita-cerita tentangmu.

Anggap saja saat itu aku ikan. Kemudian aku adalah ikan yang memakan umpan yang diberikan C.

Sekali lagi, dia baik. Aku berusaha mempercayainya. Ia juga menceritakanku beberapa hal yang tidak kuketahui tentang dirimu.

Sampai pada suatu saat, C datang kepadaku dan mengatakan sebuah hal yang membuatku mengernyit bingung.

"Dia ngejauh dari lo karena dia suka di ceng-cengin sama lo di kelas," begitu kata si C.

Aku menyahut, "Lah itu kan cuma bercanda. Gak usah dianggap terlalu serius, lah."

Saat itu C hanya menatapku dengan tatapan yang tak dapat dimengerti. Entah dia lelah karena aku tidak mengerti atau dia memang begitu.

Kemudian, C datang lagi. Bukan membawa berita terbaru, melainkan ia hanya ingin curcol. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik saat itu.

"Tau gak sih, gue jadi sering berantem sama dia," kata C memulai pembicaraan. Dia yang dimaksud adalah kamu.

"Terus, terus?" tanyaku sambil mengunyah permen karet yang baru saja kubeli.

"Ya bete lah gue. Masa kita berantem cuma gara-gara satu cewek?"

Aku semakin tertarik untuk menyimak. Apa kamu sedang menyukai seseorang?

"Gue bingung. Dia hampir setiap hari cerita tentang cewek itu. Katanya sih, gak suka. Tapi cerita mulu,"

Aku tertarik untuk mengeluarkan sebuah pertanyaan, "Cewek itu siapa, C?"

Tapi, C malah mengabaikan pertanyaanku. Ia malah melanjutkan ceritanya. Tak apa, sih. Aku justru senang.

"Gue udah hampir bosen denger cerita tentang cewek itu. Giliran gue bilang dia suka sama cewek itu, eh dia ngambek. Ngambeknya sampai 3 hari gitu. Terus gue yang mohon-mohon minta maaf,"

Aku terus menyimak. Semakin lama rasanya semakin seru. Lalu, C tampak melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Eh, gue ada bimbel habis ini. Nanti, ya gue line lo terus gue kirim screencapt gue sama dia," kata C kemudian beranjak dari tempat duduknya.

Aku menghela napas. Batinku terus bertanya siapakah yang dimaksud oleh C?

Malamnya, C mengirim screencapt yang dia maksud. Aku tertegun melihatnya. Kata-kata yang dikirimkan olehmu dalam chat itu seperti bukan kamu.

Kamu dalam chat itu terlihat seperti orang yang emosional juga tempramental. Sama sekali bukan seperti yang aku kenal. Entah kamu ada masalah saat itu atau memang aku yang ternyata tidak begitu mengenalmu.

Besoknya, kamu tidak berubah. Kamu tetap dengan wajahmu yang tanpa ekspresi saat melewatiku. Jangankan meliht, melirikpun tidak. Namun, hatiku terus menanti kapan kamu bisa kembali seperti semula.

Karena sejujurnya, aku merindukanmu. Waktu itu, aku hanya menganggap perasaan itu dikarenakan kehilangan sebuah tempat bercerita, kehilangan seorang teman.

Nyatanya, tidak. Perasaan itu bahkan lebih dalam daripada yang aku tahu.

C lebih dulu menyadarinya—bahwa aku bukan sekadar merindukanmu sebagai seorang teman. Entah sudah berapa kali C mengatakan padaku agar aku berhenti peduli kepadamu. Agar aku menghetikan semua kegilaan ini. Aku sendiri bingung perasaan apa ini.

"Dia gak peduli sama lo," kata C pada suatu hari.

Tanpa perlu C katakan, sejujurnya aku sudah tahu. Itu terlihat dari sorot matamu. Juga terlihat dari ekspresi datarmu. Tanpa perlu kamu jelaskan, aku sudah tahu.

Tapi, terkadang C tidak konsisten dengan ucapannya sendiri. Atau justru kamu yang tidak konsisten dengan ketidakpedulianmu.

Contohnya, pada hari lain C berkata, "Kemaren dia liat lo like post-post yang kayak quotes galau gitu di TL,"

"Terus?"

"Dia jadi ngerasa risih ngeliatnya."

Aku terdiam. Jika kamu tidak peduli, buat apa merasa risih? Lagipula, post yang aku like belum tentu untukmu, kan?

"Geer amat," komentarku pada saat itu. Jujur saja, aku jadi agak kesal denganmu. Masa karena hal sekecil itu kamu merasa risih? Aneh. Katanya tidak peduli.

Bukan sekali dua kali saja C mendekatiku dan mengatakan hal yang sama. Ia sudah terlalu sering mengatakan, "Dia ngerasa risih dengan sikap lo yang kayak gitu." atau "Udahlah move on aja."

Jujur. Aku jadi kesal dengan semua orang. Pertama, dengan kamu. Kalau kamu tidak peduli mengapa harus risih? Apa aku mengganggumu? Kedua, dengan C. Kenapa dia maksa banget, sih?

Maaf, semakin kesini, ocehanku semakin tidak jelas. Maaf, kalau aku sering membuatmu risih. Maaf, sampai sekarang aku masih sayang kamu.

Aku mematikan alat perekam itu kemudian menarik kaset tersebut keluar. Kutatap hujan yang perlahan berubah menjadi gerimis sambil bertanya, hujan yang deras saja dapat berubah menjadi gerimis. Mengapa kamu tidak?

1 : AdiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang