Orang bilang, sebuah kebetulan dapat menghasilkan lembar cerita baru.
Aku bilang, aku tidak akan mudah percaya pada suatu teori jika belum terjadi
Saat itu, aku memanggil namamu. Di tanganku ada jaket biru tua milikmu. Iya. Jaket itu ketinggalan di kursi.
Aku tahu bahwa aku harus mengembalikannya. Karena, kamu tanpa jaket sama dengan tidak ada. Umm, maksudku, bukan apa-apa. Tapi kamu terlihat jauh lebih baik dengan jaketmu itu.
Atas dasar itulah aku memanggil namamu.
Rasanya, berbeda. Mungkin mulutku memang sudah menantikan saat itu—saat dimana aku memanggil namamu.
Kamu menoleh.
Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Ups, maaf lebayku kambuh lagi. Ah, entahlah, jika melihat wajahmu, rasanya kata-kata puitis itu mulai bermunculan dalam benakku.
"Kenapa?" tanyamu dengan nada datar.
Ah, nada itu! Aku hampir saja mengumpat dalam hati. Kenapa, sih, tidak ada waktu barang sekali saja agar aku bisa mendengar suaramu seperti dulu? Bukan sedatar satpam komplekku begini.
Ah, aku malah diam begini. Memalukan. Akhirnya, akupun memulai pembicaraan. Dengan sedikit keragu-raguan, tentu saja.
"Ini," kataku kemudian menyodorkan jaket itu. "Jaket lo."
Kamu nampak terkejut melihat jaket itu ada di tanganku. Duh, jangan berpikir aneh-aneh ya. Aku cuma memungut barang ketinggalan.
Anehnya, kamu tersenyum. Eh, maksudku, memberikan sebuah cengiran.
"Sip. Makasih, ya," katamu kemudian dirimu tampak merogoh kantong tasmu.
Apakah itu surat cinta?
Tuhkan, aku malah mengkhayal.Lagipula aku sudah tahu, bersamamu hanya sebatas khayalku. Lalu, untuk apa ya aku berharap? Ya, anggap saja mengisi waktu luang.
Eh, tidak juga.
Ternyata oh ternyata, kamu mengeluarkan sebuah kaset. KASET. K A S E T.
Hei, kan aku merekam dalam sebuah kaset.
Parahnya, tulisan pada kaset tersebut BENAR-BENAR PERSIS seperti tulisanku.
Kaset 9 : Tentang Rasa.
Ya ampun! Kamu dapat dari mana? Rasanya tanganku gatal sekali ingin menyingkirkan benda 'haram' itu dari genggamanmu. Benda itu haram untumu, tahu! Aku bakal malu sekalu jika kamu mendengar semuanya.
Akupun segera membuka mulut, "Kok bisa ada—"
Namun, kamu memotongnya, "Gue pengen bicara tentang ini," katamu
Tuhan, tolong, selamatkan hambamu ini.
Orang bilang, sebuah kebetulan dapat menghasilkan lembar cerita baru.
Aku bilang, aku tidak mudah percaya pada suatu teori jika belum terjadi.
Hari ini, aku bilang, aku percaya.
(( p.s : maaf ya kalau ini tidak terlihat seperti surat. Prolog saja modelnya seperti surat, masa epilog tidak? Yah, tapi modelnya jadi begini. Maaf yah ))
—dari aku, yang sejujurnya tidak ingin kamu berubah hanya karena kaset-kaset tersebut
KAMU SEDANG MEMBACA
1 : Adiksi
Teen FictionKetika aku merekam seluruh perasaanku untukmu dalam sebuah kaset, terkadang aku ingin kamu mendengar seluruhnya. Tapi, kurasa kamu tidak ingin dengar karena kamu tidak peduli. Namun, setidaknya, izinkan aku teradiksi olehmu. Izinkan aku jadi yang me...