Kalau boleh jujur, ini bagian tersulit untuk diceritakan. Rasanya seperti membuka luka lama, mengoyak perasaan sekali lagi. Lalu membaca kembali nama perasaan yang ditorehkan dalam setiap kepingan hati yang retak. Memungut kembali yang telah jatuh.
Tidak.
Harus tetap kulanjutkan.
Saat itu September tanpa banyak hujan. Jika lagu Green Day menggambarkan hujan dari langit sebagai latar belakang September, ceritaku menggambarkan hujan tak terlihat yang hanya aku yang dapat merasakannya.
Saat itu sore September. Tidak ada hujan.
Aku sedang berada di kamarku sehabis menyelesaikan tugas dan merapikan buku. Kemudian, aku meraih ponselku yang sedari tadi bergetar.
Kukira notifikasi dari kamu. Ternyata, tidak ada satupun notifikasi yang berasal dari kamu. Itu aneh, sejujurnya.
Kemudian, aku mengetikkan sesuatu untukmu. Beberapa hal terkait tugas minggu depan. Aku memberikan pertanyaan, bukan pernyataan. Pertanyaan butuh jawaban bukan?
Itulah yang kuharapkan darimu. Sebaris jawaban.
Lalu aku terdiam dan menekan tombol pause untuk sesaat. Aku menatap ke luar jendela kamarku. Hujan masih merintik tanpa henti. Seperti kenangan denganmu yang merintiki pikiran ini lalu mengikis perban yang sudah tutupi luka di hati. Air hujan itu sama seperti kenangan kita, sama-sama tidak dapat kembali.
Aku menyeka air mata yang mulai mengalir di sudut mata. Inilah bagian tersulit dari mengingat kembali. Yaitu merasa sakit kembali.
Tidak. Harus tetap kulanjutkan. Kemudian, aku menekan tombol play kembali, membiarkan suaraku mengambil alih sunyi.
Ternyata, hal yang kuharapkan tak kunjung datang. Tidak ada satupun notifikasi yang berasal darimu. Aku merasa aneh, tentu saja. Biasanya, kamu selalu menjawabnya dengan cepat. Kamu hampir selalu memulai percakapan.
Hari itu kamu aneh.
Kemudian, aku memutuskan untuk membuka chat denganmu. Selama sekian detik selanjutnya, aku hanya bisa menatap sesuatu yang ada di atas waktu pengiriman pesan.
Read.
Namun, tidak ada jawaban lagi di bawahnya. Aku mencoba mengirimkan stiker, barangkali kamu hanya lupa menjawabnya.
Beberapa jam setelahnya, bukan jawaban yang aku dapat. Melainkan kata read yang bercokol di atas waktu pengiriman pesan.
Kamu kenapa? Aku salah apa?
Pertanyaan itu terus membayangiku berminggu-minggu kemudian. Salah. Maksudku sampai berbulan-bulan kemudian. Bahkan dua tahun kemudian.
Karena kamu berubah setelah itu. Kamu tampak lebih senang menatap pepohonan ketimbang melihatku saat kita berpapasan. Kamu tampak lebih nyaman memalingkan wajahmu. Kamu tampak menikmati jarak. Padahal sebelumnya, kita belum berkenalan dengan jarak.
Seperti kamu yang mencariku saat aku tidak ada, aku juga melakukan hal yang sama. Bedanya, kamu menemukanku, aku tidak. Karena saat itu, aku memang ingin kamu temukan. Sementara kamu, mungkin tidak ingin kutemukan.
Terima kasih telah memperkenalkanku pada jarak, juga pada rindu. Seandainya kamu tidak pergi, aku tidak pernah menyadari perasaan ini.
Mungkin aku menyayangimu sejak hari itu.
Aku terdiam kemudian menekan tombol stop. Cukup sudah untuk hari ini. Mengingatmu ternyata melelahkan, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 : Adiksi
Teen FictionKetika aku merekam seluruh perasaanku untukmu dalam sebuah kaset, terkadang aku ingin kamu mendengar seluruhnya. Tapi, kurasa kamu tidak ingin dengar karena kamu tidak peduli. Namun, setidaknya, izinkan aku teradiksi olehmu. Izinkan aku jadi yang me...