Ketika aku merekam seluruh perasaanku untukmu dalam sebuah kaset, terkadang aku ingin kamu mendengar seluruhnya.
Tapi, kurasa kamu tidak ingin dengar karena kamu tidak peduli.
Namun, setidaknya, izinkan aku teradiksi olehmu. Izinkan aku jadi yang me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Saat itu, bulan Januari. SMA yang berada satu gedung dengan SMPku mulai membuka pendaftaran lewat jalur nilai rapor. Aku tertarik, terus terang saja. Lagipula, bisa saja aku pakai untuk menghindarimu, kan? Mungkin kamu ingin masuk ke sekolah lain, kuharap begitu. Dengan cara seperti itu, aku bisa cepat melupakanmu.
Tidak terbayang bagaimana menyenangkannya kehidupan SMAku jika tidak perlu menghindari satu orang secara spesifik—maksudnya kamu, tentu saja. Akan jadi sangat menarik. Aku bisa bebas berekspresi tanpa takut membuat risih siapapun itu—maksudnya kamu.
Siapa sangka bahwa kamu juga mendaftar untuk hal yang sama? Saat itu, aku sedang ke Tata Usaha untuk meminta legalisir rapor, salah satu syarat untuk mendaftar. Kemudian, kulihat sosokmu dengan jaket biru tua itu. Jujur saja, aku langsung merasakan hal yang dulu aku rasa saat bertemu denganmu. Debaran itu masih sama, rupanya. Agak percuma, ya, semua yang kulakukan beberapa hari ini. Aku berusaha melupakanmu, berusaha berlagak seperti tidak pernah ada cerita apapun tentangmu.
Namun, ketika kamu muncul, yang runtuh justru pertahananku, bukan rasa sayang untukmu.
Aku merasakan tatapanmu mengarah kepadaku. Mungkin hanya perasaanku saja, atau justru hanya anganku. Maka, entah karena alasan apa, aku menoleh ke arah tempatmu berdiri.
Benar. Kamu menatapku. Datar namun intens. Ingin rasanya aku cepat-cepat berbalik dan pergi.
Lalu, setelah sekian detik menatapmu, kupalingkan wajahku ke arah lain. Kemudian aku bertanya tentang legalisir raporku apa sudah selesai kepada salah satu petugas Tata Usaha. Pertanyaanku dibalas dengan anggukan. Akupun tersenyum senang. Setidaknya, aku bisa menghindarimu.
Kamu sedang memainkan ponselmu, jadi kamu tidak melihatku saat aku berjalan keluar Tata Usaha. Kalau kamu masih menatapku dengan tatapan itu, nanti perasaanku malah kembali lagi.
Walaupun sejujurnya, rasa itu masih ada. Tersembunyi entah di celah yang mana.
Minggu berikutnya, hasil jalur rapor itu diumumkan. Syukurlah, namaku ada di kertas berisi nama siswa yang diterima. Namamu tidak.
Seharusnya aku merasa senang, tapi yang kudapati justru sepi. Mengapa, sih, melupakanmu tidak semudah itu?
Hari-hari selanjutnya, aku berusaha menghindarimu. Berusaha untuk tidak melihat wajahmu, tepatnya. Karena, melihat wajahmu justru membuatku teringat akan semua rasa sakit itu.
Tapi, bagaimana caranya menghindari orang yang selama ini justru aku cari keberadaannya?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.