Ini tidak akan menjadi bagian yang panjang. Ceritaku pada bagian ini mungkin akan sepanjang bagian pertama, kurang lebih.
Aku suka bagian ini, aku ingin mengingatkannya kepadamu. Karena, kurasa pikiranmu sudah tidak mampu mengingatnya.
Saat itu, aku sedang berada dalam kereta api yang membawaku pada suatu destinasi. Hari itu, 17 Agustus 2014. Sekolah mengadakan upacara bendera sekaligus pelantikan OSIS, hal yang dilakukan dari tahun ke tahun. Aku bukan anggota OSIS, jadi aku bebas berpergian pada hari itu.
Seharusnya, aku tetap masuk. Tapi aku ingin meliburkan diri sejenak.
Tiba-tiba, ponselku bergetar menandakan notifikasi. Namamu muncul di layar. Pada saat itu, kemunculan namamu di layar merupakan hal yang biasa. Pasti hampir terjadi setiap hari.
Ya. Saat itu aku belum berkenalan pada rindu. Karena kamu masih akan tetap menyapaku setiap hari sembari memperlihatkan cengiran favoritmu.
"Lo gak dateng?"
Begitu kata yang tertera di layar ponselku.
"Gue di luar kota,"
Ketikku pada layar itu sambil tersenyum karena kamu sadar kalau aku tidak ada disitu. Aku tidak berani berharap kamu memang mencariku.
Tak lama kemudian, balasan darimu muncul.
"Oh,"
"Gue tadi nyari terus kata temen lo gak ada,"
Aku tersenyum. Kamu memang mencariku. Salahkah bila aku berharap lebih?
Ada sebuah cerita lain yang masih melekat dalam pikiranku. Mungkin karena kamu pemeran utamanya. Atau karena rasa ini sebagai predikat dan kamu objeknya.
Kemudian, ada sebuah cerita lagi.
Saat itu, September 2014. Ada sebuah pensi yang diadakan oleh sekolahku. Lebih tepatnya oleh SMA yang satu gedung dengan sekolahku. Jadi, gedung sekolahku terbagi menjadi SMP dan SMA. Para siswa SMA itulah yang menyelenggarakan pensi tersebut, sebuah acara tahunan.
Kebetulan, mereka mendatangkan artis favoritku—dan artis favorit kebanyakan orang, tentunya. Aku bahkan sudah membeli tiketnya sejak presale.
Sayangnya, pada saat acara tersebut berlangsung, aku malah jatuh sakit. Bukan sakit serius sampai harus mendekam di UGD. Tapi, tetap saja, sakit.
Aku sedang berusaha tidur saat ponselku bergetar menandakan sebuah notifikasi.
Dari kamu.
Aku membaca tulisan yang tertera pada layar.
"Lo udah nyampe?"
"Eh, lo dateng, kan hari ini?"
Aku tersenyum lelah sambil menyeka hidungku yang tersumbat. Aku sangat ingin datang, sejujurnya. Aku memang tidak memiliki janji untuk pergi bersamamu, namun, salah satu alasanku datang adalah untuk melihatmu.
Jari-jariku mulai mengetik balasan untukmu.
"Enggak,"
"Gue sakit."
Tak lama kemudian, kata read muncul di atas waktu pengiriman pesan. Lalu, balasan darimu muncul.
"Sakit?"
"Sakit apa?"
"Sayang banget,"
"Ntar ada Tulus, loh."
Sejujurnya, aku juga ingin datang. Menonton seperti yang sudah kurencanakan sebelumnya. Mungkin bisa sekaligus melihatmu.
"Demam terus flu gitu"
"Ya gue juga maunya nonton :("
Kemudian, balasan darimu muncul
"Gue sih lagi otw"
*sent a photo*
Aku terkikik geli melihat foto yang kamu kirimkan. Fotomu dan sahabatmu yang diambil dengan cara selfie, namun sudut pengambilan gambarnya salah—dari bawah.
Menyedihkan.
"HAHAHAHA OKAY :("
"Have fun!!"
Aku lupa apa jawaban darimu saat itu. Karena saat itu, kepalaku pusing sekali, aku mau tidur.
Namun, keesokan harinya, kamu menceritakan kejadian kemarin.
"Kemaren seru banget, sih. Parah,"
"DJ nya juga hacep banget,"
"Sampe gue pusing loncat-loncat mulu,"
Tak lama kemudian, sebuah video mendarat di chatroom ku bersamamu. Aku mengkliknya dan berusaha menerka video apa yang kamu kirim.
Ternyata, itu video acara kemarin.
Jemariku mulai mengetikkan sesuatu.
"Itu acara kemaren?"
Kemudian, jawabanmu muncul.
"Iya,"
"Gue rekam,"
"Barangkali lo mau nonton,"
Aku tersenyum membacanya. Apakah merupakan suatu kesalahan jika aku mulai menaruh harapan pada setiap kata yang dituliskan olehmu? Juga pada setiap canda yang terlontar dari mulutmu, serta cengiran lebar favoritmu yang entah mengapa membuatku merasa nyaman.
"Yay, thanks!"
Begitulah jawabanku pada waktu itu.
Lalu, hal yang kuingat adalah, obrolan kita yang menyimpang entah kemana. Membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak penting-penting amat, seperti biasa.
Namun, aku menikmatinya. Kamu menghiburku yang sedang tidak dalam mood yang baik karena sehabis menelan dua kapsul obat yang rasa pahitnya tidak dapat dideskripsikan. Bahkan rasa pahit itu masih menyangkut di lidahku.
Tapi, tanpa sadar, kamu berhasil menghilangkan rasa tersebut. Menggantinya menjadi kenyamanan dan keseruan dengan canda tawamu. Aku menyukainya. Terima kasih.
Lalu, entah apa yang mendorong jariku untuk mengetik kalimat ini.
"Katanya, kemaren banyak yang 'nembak' gitu ya?"
Kamu membalasnya.
"Iya, gue liat gitu,"
"Biasanya pas lagu-lagu Tulus, tuh,"
"Jadi banyak yang jadian kemaren,"
"Malah ada yang di depan banyak orang,"
"Gila, sih,"
Aku mengetikkan balasan untukmu. Aku juga tidak tahu apa yang mendorongku mengatakan ini.
"Lo gak 'nembak'?"
Balasan darimu muncul tak lama kemudian.
"Enggak,"
"Orangnya gak ada,"
"Lagu Tulus sih ada, tapi orangnya gak ada,"
Aku terdiam sesaat setelah menceritakan bagian terakhir itu. Rasanya mustahil. Orang yang pernah sedekat itu denganku, malah menjadi sesuatu yang jauh dari genggaman. Aku menghela napas kemudian melanjutkannya lagi, tinggal sedikit lagi.
Maafkan aku, seharusnya mungkin tidak sepanjang ini—seperti yang aku katakan di awal. Namun, aku terlalu bersemangat menceritakan cerita tentang kita. Tentang kamu, tepatnya. Maaf, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 : Adiksi
Teen FictionKetika aku merekam seluruh perasaanku untukmu dalam sebuah kaset, terkadang aku ingin kamu mendengar seluruhnya. Tapi, kurasa kamu tidak ingin dengar karena kamu tidak peduli. Namun, setidaknya, izinkan aku teradiksi olehmu. Izinkan aku jadi yang me...