KASET 15 : 20/06

1K 136 1
                                    

Serius, deh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Serius, deh. Kamu jangan tertawa jika melihat judul kaset ini. Aku saja tidak mengerti mengapa judulnya begitu. Aku hanya iseng saja. Lagipula, hal terakhir yang aku harapkan adalah kamu menemukan seluruh kaset ini. Ini kan bagian dari rehabilitasiku—mengingat kembali. Namun, jujur saja. Terkadang, aku ingin kamu tahu bagaimana perasaanku saat dua tahun terakhir ini. Bagaimana rasa sakit hatiku—tentu saja aku tidak akan menyalahkanmu—juga bagaimana aku ingin kamu kembali.

Aku ingin jujur. Sebenarnya, aku tidak pernah menyukai orang se-lama ini. Kamu yang pertama. Aku juga tidak tahu mengapa. Wajahmu biasa-biasa saja, agak berjerawat malah. Badanmu bukan semacam atlet-atlet yang berpetak-petak. Suaramu juga bukan suara serak ala cowok yang bisa membuat cewek langsung luluh mendengarnya. Otakmu tidak pintar-pintar amat. Oke, sebenarnya kamu pintar tapi malas. Itulah yang menyebabkan mengapa remedialmu bertumpuk.

Biar aku deskripsikan tentangmu. Deskripsi fisik dulu, deh. Seperti yang kukatakan sebelumnya, wajahmu biasa dan agak berjerawat. Yah, walaupun begitu, kurasa jerawatmu mulai berkurang. Aku jadi penasaran obat apa yang kamu pakai. Tinggimu, hmm, tidak bisa ditoleransi. Kamu lebih tinggi dariku. Aku bahkan hanya sebahumu. Walaupun badanmu tidak berpetak-petak seperti sawah, hmm aku lupa ingin bilang apa. Oh, iya. Kamu seperti beruang besar berwarna cokelat. Aduh, kenapa cokelat, sih? Aku juga bingung sejujurnya. Tapi kamu terlihat nyaman dipeluk—tuhkan aku malah melantur. Lupakan saja.

Lebih baik aku mendeskripsikan hal lain.

Kamu itu walaupun suka terlihat seperti anak-anak, sebenarnya kamu punya sisi lain yang menjadikanmu terlihat dewasa. Aku suka itu. Aku suka hampir segala hal tentang kamu. Terutama, jaket biru tua kesayanganmu. Jaket itu terlihat pas di badanmu. Entah karena apa. Tapi, aku paling suka jika kamu memakai jaket itu.

Intinya, walaupun aku mati-matian ingin menghindarimu, sejujurnya, aku ingin berada di dekatmu. Menatapmu dari dekat sembari menikmati lelucon garingmu. Aku ingin jadi yang pertama tertawa walaupun sebenarnya leluconmu segaring itu. Aku juga ingin tertawa bersamamu. Kembali mendengar tawa cemprengmu yang aneh itu—lebih aneh lagi, aku justru merindukannya. Aku ingin jadi orang yang membuatmu tersenyum dan selalu jadi tempat berceritamu—jadi tempatmu pulang. Itu sebabnya, aku berharap kamu pulang.

Tapi, tenang saja, aku tidak akan mengejarmu lagi, capek. Kamu tidak perlu khawatir akan merasa risih, aku tahu posisiku. Lebih baik aku duduk diam di sini, menikmati segala hal yang beredar di sekelilingku. Aku akan membiarkan semua terjadi dengan semestinya tanpa memaksakan kehendakku. Aku yakin, jika aku memang rumah untukmu, kamu akan pulang. Jika tidak, biarlah aku jadi rumah untuk yang lain.

Tahukah kamu, aku tidak ingin kalimat terakhir itu terjadi. Aku hanya mau kamu. Tapi, sekali lagi, tenang saja. Aku tidak akan mengejarmu. Aku tidak kuat lari, kamu pasti tahu aku selalu tertinggal setiap lari pagi.

Saat itu kelulusan sekolah. Seperti kebanyakan orang pada waktu itu, aku berfoto bersama teman-temanku, juga kamu. Entahlah, aku bingung harus mengkategorikanmu sebagai teman atau apa. Masalahnya, kita tidak pernah saling menyapa, mengobrolpun segan.

Namun saat itu, aku berfoto denganmu. Untuk kenang-kenangan, tentu saja. Sebagai pengingat bahwa aku pernah begitu menyayangi seseorang walaupun tidak ada respon sama sekali. Sebagai pengingat bahwa aku pernah sebodoh itu. Juga pernah senaif itu, selalu yakin bahwa kamu akan kembali entah kapan.

Walaupun aku berkata demikian, tahukah kamu bahwa sebenarnya aku masih berharap. Bahkan sampai sekarang.

Oke, kembali ke cerita saat itu.

Kamu menanggapinya dengan agak santai, walaupun masih ragu menatapku. Namun, temanmu tampak menyikutmu diiringi sebuah senyuman lebar. Entah apa maksudnya.

Besoknya, aku mengirim foto itu. 10 menit kemudian, kamu membalas, "yoo, tengs yaa!"

Tahukah kamu sebenarnya saat itu aku berharap kamu segera mencari topik lain agar kita bisa mengobrol kembali? Karena, aku tidak akan berusaha seperti itu lagi. Capek. Yang ada malah jadi bahan laporanmu kepada C. Memangnya kenapa, sih? C harus tahu? Aku semakin tidak mengerti jalan pikiranmu.

Oh iya, aku baru tahu satu hal lagi.

Aku, kamu, dan C.

Kita berada di sekolah yang sama lagi untuk tiga tahun ke depan.

---Author notes :Adiksi ganti cover&banner loh gengss!! Yaayyy semoga kalian suka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---
Author notes :
Adiksi ganti cover&banner loh gengss!! Yaayyy semoga kalian suka

1 : AdiksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang