Quina menggeliat malas di atas tempat tidurnya. Hari minggu adalah waktunya bermalas-malasan. Namun gedoran di pintu kamarnya memaksa Quina melangkahkan kakinya untuk membuka pintu. Quina hanya bisa meringis ngeri, membayangkan nasib sang pintu jikalau ia tak segera membukanya.
Di ambang pintu yang sudah terbuka, Puti sahabat gilanya sedang tersenyum lebar melihat Quina yang sedang melotot ke arahnya.
"Apaan sih lo ,Pu, pagi-pagi udah ganggu ketenangan gue aja!" sunggut Quina. Kembali melangkah menuju kasurnya, berniat melanjutkan tidurnya yang terganggu.
"Eh, Tenyom, jangan tidur lagi lo. Udah jam berapa ini? Pantas aja lo masih jomblo, jam segini lo masih tidur." Puti duduk di kursi meja rias sembari mengacak kosmetik yang ada di depannya.
"Nah, lo sendiri ngapain ke sini pagi-pagi? Udah jadi jomblo juga lo?" Quina membalas ucapan Puti tubuhnya ia sandarkan di kepala ranjang.
"Amit-amit jabang bayi!" seru Puti yang langsung mengetuk meja rias tiga kali.
"Ngapain lo getak-getuk meja gue? Asli jati tu! Mahal dulu belinya, warisan nenek moyang!" ucap Quina, lalu melangkahkan kakinya keluar kamar menuju kamar mandi.
"Sialan lo, Quin. Gue bukan mau ngecek meja lo! Gue cuma mau nangkis ucapan sialan lo! Gue nggak mau omongan lo didenger malaikat yang lagi lewat, trus dicatat, mulut lo kan asin!" Maki Puti yang sayup-sayup masih dapat didengar Quina.
Quina tertawa mendengar makian Puti. Emang bisa apa? getak-getok meja, kepala atau apapun yang ada di sekitar kita buat nangkis omongan yang nggak baik? Aneh-aneh aja. Yang ada itu banyak-banyakin aja berdoa minta sama Tuhan buat diberi perlindungan biar dijauhi dari bala dan marabahaya dimanapun kita berada. Ya 'kan?
Quina kembali ke dalam kamar setelah setengah jam berkutat di kamar mandi. Dilihatnya Puti sedang asyik menonton acara gosip yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta dari tv bututnya. Iya butut. Saking bututnya tombol-tombol yang biasanya dipake buat mengganti siaran sudah hilang entah ke mana. Mana remotnya nggak ada lagi. Jadilah dipake sendok atau apapun itu sebagai pengganti remot.
"Jadi ngapain lo ke sini, Nyom?" tanya Quina yang sedang memakai pelembab di wajahnya.
"Temenin gue ke nikahan temen kantor gue dong, Nyom." Puti yang sedari tadi asyik mencari-cari siaran tv yang bagus dengan tangkai sendok langsung mendekati Quina.
"Nggak ah, gue lagi males gerak. Pengen leyeh-leyeh di rumah hari ini." tolak Quina.
Lagian ia paling malas kalau diajak kondangan. Kalau ditanya alasannya? Quina hanya mengedikkan bahu seraya berkata males aja.
"Emang laki lo kemana? Percuma punya laki kalo nggak bisa diajak kondangan." Ujar Quina. "Dan lagi, gue kan nggak diundang. Bikin dosa gue aja datang ke nikahan orang yang nggak ngundang gue." cerocos Quina yang tengah menyisir rambut panjangnya.
"Lagi dinas luar dia. Lagi nyari modal nikah." Puti menghampiri Quina. Berdiri di samping sahabatnya. Ikut mematut diri di cermin. "Dosa gimana? Kan di undangan nggak di sebut nama laki gue. Cuma ditulis Puti & partner. Nggak papa dong kalo lo ikut. Jadi kali ini lo harus jadi partner gue. Siapa tahu ntar lo nemu jodoh di sana. Biar lo bisa move on dari mantan terindah lo."
"Pretlah terindah, kalo aja pintu kemana sajanya doraemon itu ada, ingin banget gue ke masa lalu buat menghapus masa-masa itu. Dan lagian temen macam apa lo, nyuruh gue nyari jodoh di tempat kondangan. Iya kalo di sana gue nemu imam buat dunia akhirat gue. Nah, kalo nemunya kayak sang mantan 'kan bego namanya. Kata orang nih ya, kalo mau nyari jodoh yang baik itu, harus di tempat yang baik pula. Nah, seharusnya lo itu ngajak gue ke tempat-tempat pengajian, biar gue yang agamanya setengah ini dapet imam yang nggak cuma bisa ngajak gue bahagia dunia, tapi akhirat juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Quina
General FictionQuina tidak pernah tahu seperti apa dongeng Cinderella itu. Kata temannya, Cinderella itu si upik abu yang menikah dengan pangeran tampan dan pastinya kaya raya. Tapi kalo wanita dengan masa lalu kelam, yang cuma seorang karyawan biasa seperti Quina...