Quina berlari disepanjang koridor kampus, ia harus segera ke parkiran tempat dimana Puti tengah menunggunya. Tadi ia mendapat telepon dari temannya itu, yang memberitahu bahwa Puti melihat keberadaan, Nando.
Bukan. Quina bukan ingin menemui Nando. Melainkan ia ingin menghindari lelaki sialan itu. Tingkat kegilaan Nando sudah semakin parah. Ia benar-benar terobsesi pada tubuh Quina.
Beberapa hari yang lalu Nando menyambangi Quina di rumahnya. Karena memang mereka tidak tinggal satu atap. Benar mereka telah menikah, tapi toh itu hanya siri. Lagipula Quina memang sengaja atau lebih tepatnya sengaja menghindar demi keselamatan dirinya. Katakanlah dia durhaka karena tidak memberikan hak Nando sebagai suami. Tapi Quina juga harus memikirkan masa depannya.
Mungkin kalau Nando tulus menikahinya, bukan karena obsesi, Quina akan berpikir ulang. Dan mau melaksanakan kewajibannya. Tapi selama pernikahan ini, tak terlihat niatan baik Nando. Jadi sebagai wanita, Quina harus melindungi dirinya sendiri. Salah satunya dengan memberi jarak hubungannya dan Nando.
Dan hampir sebulan pernikahan mereka tak sekalipun Nando bisa menyentuh Quina, kecuali hari itu.
Quina baru saja selesai mandi ketika ia mendengar ada bunyi ketukan di pintu depan. Hari itu hanya Quina yang ada di rumah. Karena Ibunya ada urusan diluar kota.
Setelah memakai pakaian rumahnya, Quina berjalan ke ruang tamu, guna membukakan pintu untuk sang tamu. Alangkah kagetnya Quina, ketika pintu terbuka wajah Nando lah yang ia lihat. Quina hendak menutup kembali pintu rumahnya, namun dengan cepat Nando menghalangi dan langsung menerobos masuk.
Quina berusaha mengusir Nando. Ia mendorong tubuh besar Nando. Tapi apalah daya tubuh kecil Quina tak sebanding dengan Nando yang mempunyai tubuh tinggi besar yang pastinya, memiliki tenaga yang jauh dibandingkan Quina.
"Udahlah, Quin. Nggak ada gunanya kamu dorong-dorong aku. Bikin capek kamu aja!" Nando menyeringai lalu duduk dikursi ruang tamu dengan santai.
"Mau apa sih lo, Ndo." Quina bersedekap berdiri diambang pintu. Dia tak boleh lengah, atau sesuatu yang buruk akan menimpanya.
"Ngunjungin istrilah, mau apalagi emang? Kalau yang dikunjungi berbaik hati dan memberikan apa yang gue mau, itu artinya gue lagi beruntung."
"Mimpi aja lo sana! Udah deh, mending lo balik sana, gue mau istirahat!"
"Tau nggak Quin. Makin lo jutek ke gue, makin gue pengen bekap mulut lo itu pake bibir gue." ucap Nando.
"Please, Ndo hentikan permainan lo, karena gue bukan lawan yang cocok buat lo. Main sama gue nggak akan pernah asyik. Mending lo cari orang yang mau main-main sama lo. Yang bisa ngasih apa yang lo mau."
"Nah, disitu tantangan buat gue. Ketika lo bilang enggak, bikin gue makin tertantang. Dan pengen jadi in lo milik gue seutuhnya." ucap Nando dengan senyum liciknya.
"Apa sih salah gue, Ndo? Sampe lo ngelakuin hal gila ini. Ingat ya Ndo karma itu berlaku."
"Lo itu munafik, terlalu jual mahal. Lo berlagak seolah-olah lo itu cewek suci. Yang nggak boleh disentuh sama cowok kayak gue."
Quina hanya diam menanggapi ocehan Nando yang menurutnya aneh itu. Tak pernah Quina berlagak suci seperti yang Nando katakan. Quina memang menjaga sentuhan fisik dengan teman-teman prianya. Aneh aja menurutnya kalau peluk-pelukan dengan cowok.
Dan lagi seumur hidupnya, Quina belum pernah pacaran. Menurut Quina tak ada untungnya dia menghabiskan waktu dengan berpacaran. Quina bukannya sok suci atau bersikap munafik. Itu adaah pilihannya. Menjaga sesuatu yang mestinya dia jaga. Jadi tak ada yang salahkan dengan pilihannya, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Quina
General FictionQuina tidak pernah tahu seperti apa dongeng Cinderella itu. Kata temannya, Cinderella itu si upik abu yang menikah dengan pangeran tampan dan pastinya kaya raya. Tapi kalo wanita dengan masa lalu kelam, yang cuma seorang karyawan biasa seperti Quina...