21. Jadi Ibu itu ...

8K 782 52
                                    

Fauqa mengayunkan cangkulnya untuk menutup lubang yang baru saja digalinya. Fauqa baru menguburkan plasenta bayinya. Disaat orang-orang menyimpan plasenta bayi di bank plasenta untuk dijadikan obat di kemudian hari. Fauqa memilih menguburnya. Katakanlah Fauqa kampungan tapi menurut Fauqa setelah bayi lahir plasenta akan kehilangan fungsinya maka dari itu lebih baik di kubur.

Dan lagi plasenta adalah bagian dari tubuh yang kalau tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan bau tak sedap. Maka sebaiknya dikubur untuk kebersihan dan kesehatan lingkungan. Jangan pikir Fauqa akan melakukan ritual-ritual yang sering terjadi di masyarakat. Tidak ada ritual tersebut. Tadi setelah mendapatkan plasenta yang sudah dibersihkan rumah sakit Fauqa segera membawanya pulang untuk dikubur dibelakang rumahnya. Dan kemudian kembali kerumah sakit menemui anak istrinya.

Setelah perjuangan panjang dan menyakitkan, Quina, istrinya melahirkan bayi lelaki yang mereka beri nama Hanan Al Hasan. Fauqa sangat bersyukur atas semua karunia yang Tuhan berikan. Persalinan istrinya berjalan lancar dan bayi mereka lahir sehat, dan sempurna.

"Halooo anak ayah. Udah bangun ya?" Fauqa menciumi pipi merah Hanan kemudian mengecup kepala Quina.

"Baru bangun dia." Quina yang sedang duduk bersadar di kepala ranjang dengan tumpukan bantal dibelakangnya, mencoba menggeser duduknya karena Fauqa hendak duduk disampingnya. "Di kubur dimana ari-arinya?" tanya Quina sementara tangannya sibuk membuka  kancing baju karena akan memberi Hanan asi.

"Di belakang rumah," jawab Fauqa. "Gimana asinya? Udah mulai lancarkan, Yang?" Fauqa memperhatikan Hanan yang sibuk dengan asupan makanannya.

Quina mengusap lembut kepala Hanan, "Iya, lumayan. Kalau nggak, anak kamu pasti nangis-nangis."

"Udah punya anak masih aja manggil kamu-kamu, rubah dong, Yang! Ntar Hanan, ikut-ikutan panggil Qa, bukan ayah."  ucap Fauqa gemas. Istrinya itu masih saja memanggilnya dengan nama, tanpa embel-embel didepannya. Bukannya Fauqa gila hormat atau apalah itu.  Kan lucu, kalau nanti Quina keceplosan memanggil nya dengan nama didepan anak mereka.

"Iya, nanti."

"Kalau bisa sekarang, kenapa harus menunda-nunda sih?" paksa Fauqa.

"Iya, nanti Qa. Sekarang aku lagi nyusui Hanan dulu." elak Quina.

"Kamu aneh deh, Yang?" malas berdebat, Fauqa menyandarkan kepalanya dibahu Quina, memperhatikan anak mereka yang kembali terlelap karena kekenyangan.

"Kapan aku pulang?" tanya Quina setelah memasang kancing bajunya lagi. Kemudian menaruh bayinya kedalam box bayi yang ada disamping ranjang.

"Besok, mungkin? Aku belum nanya sama dokternya. Lagian kamu kan baru ngelahirin tadi malam. Jadi istirahat dulu dirumah sakit buat recovery."

"Tapi biasanya kalau ngelahirin normal itu nggak lama-lama dirumah sakitnya, kan?"

"Iya, nggak Lama," Fauqa membelai rambut Quina yang sekarang sudah berbaring di ranjang. "Sempit nggak, Yang? Kalau sempit aku duduk disofa aja." tanya Fauqa yang ikut berbaring disamping Quina.

"Nggak kok." Quina menoleh kearah Fauqa kemudian tersenyum.

Fauqa yang tidur menghadap Quina menjawil hidung istrinya gemas, "kenapa senyum-senyum, hmm?"

"Nggak ada. Cuma nggak nyangka aja, aku sekarang udah jadi Ibu. Makasih udah sabar menghadapi aku selama ini." Quina membelai membelai pipi Fauqa.

"Aku yang harusnya berterima kasih. Kamu udah berjuang, menahan sakit, melahirkan anak kita. Aku pikir akan ada adegan jambak rambut, sama cakar-cakaran. Aku udah siap mental buat kamu aniaya. Eh, malah nggak ada. Kamu kuat banget sih, Yang." Fauqa memeluk Quina, lalu berkata "makasih, Quinaku." Kemudian Fauqa mengecup bibir istrinya sebagai ungkapan terima kasih.

Drama QuinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang