Setelah memarkir motor Scoopy-nya, Quina bergegas masuk ke dalam kantor, menuju ruangannya. Kemudian, ia meletakkan tas dan mengganti high hells-nya dengan sendal yang biasanya ia taruh dikolong meja. Lalu, Quina berjalan menuju pantry, tempat biasa teman-temannya berkumpul sebelum jam kerja di mulai.
Kebiasaan buruk anak-anak kantornya memang seperti itu. Mereka akan kembali ke ruangan, ketika waktu menunjukkan pukul delapan tepat. Padahal SOP-nya mereka harus melakukan line clearance dan briefing sepuluh menit sebelum jam kerja di mulai. Jadi ketika jam menunjukkan pukul delapan, otomatis mereka start untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan jobdesk masing-masing.
"Nah, ini si curut yang nggak mau ikut kita karaoke-an kemaren." celetuk Lela, ketika melihat Quina memasuki pantry.
"Iya, nggak asik banget sih lo, Quin. Sekarang udah jarang nongkrong ama kita-kita," Mega yang tengah menyeduh teh, ikut menimpali.
Quina, hanya tersenyum mendengar omelan teman-temannya. Mau gimana lagi, sejak dia dan Fauqa mencoba untuk berkomitmen, dua minggu yang lalu, Quina selalu menghabiskan hari-harinya dengan pria itu.
"Iya, Quina mah sekarang sombong. Mentang-mentang udah taken. Udah nggak jones lagi. Jadi nggak mau main ama kita-kita." celetuk Rina.
"Bener banget." ucap teman-temannya kompak.
"Lo, nemu di mana sih Quin, cowok model si Uqa-Uqa itu? Gue mau juga dong, satu. Atau kalau lo udah nggak doyan, gue mau kok nerima bekasan lo!" ucap Lela.
"Huuuu," seketika terdengar suara mengejek di pantry
"Lo, mah liat cowok pake kolor ijo juga doyan, Le! Apalagi yang model si Fauqa, ngences pasti lo!" Adra ikut menimpali.
"Udah ngapain aja Lo ama si Uqa, Quin? Tanya Mega kepo.
"Menurut Lo?" Quina balik bertanya. Teman-temannya ini memang pengidap kepo akut.
"Yaelah, Quin. Lo mah gitu, cerita dong. Kita-kita kan suka share-share juga ke Lo."
Quina hanya diam menanggapi ocehan teman-temannya. Emang sih, mereka suka share tentang segala hal. Termasuk gaya berpacaran. Iya, teman-temannya itu adalah orang-orang dengan pikiran terbuka. Mereka nggak bakal ngejudge orang ini itu. Nggak suka nyari lawan. Makanya Quina betah dua tahun temenan sama mereka.
"Udahlah, ngapain juga lo kepo sama hubungan orang. Ntar kalau saatnya tiba si Quina juga bakal cerita." Adra angkat suara.
"Nah, bener banget itu. Quina itu 'kan nggak kayak lo, Rin. Kalau habis kencan lo pasti cerita bagian apa yang udah di explore sama laki lo." ucap Mega.
"Sialan lo pada, macam diri sendiri nggak kayak gitu."
Quina hanya bisa menggeleng, melihat tingkah absurd teman-temannya. Kalau orang lain melihat, mereka akan berpikir teman-temannya ini sedang bertengkar. Padahal bukan, kadang gaya mereka bercanda itu seperti orang yang sedang bertengkar. Main toyor, ngebentak kadang saling ngejelekin. Tapi itu hanya candaan. Nggak ada yang serius. Dan nggak boleh dimasukkan ke hati. Bisa gawat. Serius!
"Tapi, Quin ini pertanyaan yang udah beberapa hari ini, bikin gue susah tidur. Pake pelet apa si Fauqa ampe lo yang biasanya cuek sama cowok, mau aja nerima dia. Tolong tanyain, please. Gue mau melet si Didan kostumer kita. Sebel aja gue, udah enam bulan gue pepet, tapi tuh orang nggak juga ngerti." ucap Adra lesu.
Seketika ruangan pantry ramai oleh tawa Quina dan teman-temannya. "Hahaha, taik lo Dra. Kalau mau melet milih-milih napa? Si Didan kan doyan batangan." celetuk Rina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Quina
General FictionQuina tidak pernah tahu seperti apa dongeng Cinderella itu. Kata temannya, Cinderella itu si upik abu yang menikah dengan pangeran tampan dan pastinya kaya raya. Tapi kalo wanita dengan masa lalu kelam, yang cuma seorang karyawan biasa seperti Quina...