BAB 12

15 2 1
                                    

           Cahaya bersinar dengan terik. Awan kelabu sudah lenyap. Tertiup hembusan angin. Entah pergi kemana ia tidak tahu. Yang terpenting. Kini mentari mulai menyinari bumi dengan hangat. Dan membuat semua orang ingin melanjutkan aktivitasnya yang tertunda.

           Aril duduk di sebuah ayunan kayu persegi panjang. Yang ada di balkon ruang tengah lantai atas rumahnya. Diam. Memandangi sebuah foto yang menampakan dua anak kecil seusia SD, sedang saling merangkul bocah yang satunya. Bocah lelaki itu berwajah sama. Mereka kembar. Tinggi, potongan rambut dan senyum mereka. Semua mirip. Kecuali pada si anak laki-laki yang sebelah kiri. Senyumnya ringan, memakai kacamata-yang menandakan kalau dia si kutu buku, bajunya berwarna hitam dan dan celana pendek berwarna abu-abu.

          Sebaliknya. Bocah yang sebelah kanan tampak tersenyum dengan terpaksa. Berbaju biru tua, celana abu-abu dan tidak memakai kacamata. Bocah itu, entah kenapa ia tersenyum karena terpaksa.
Latar belakang foto itu menampakan pantai dengan sinar matahari yang masih terik dan pasir putih yang dipijaknya.

           Aril meneteskan air mata.  Butiran bening itu jatuh perlahan dipipinya. Aril menyekanya lembut. Ia menekan kuat bibirnya agar tidak bersuara. Ia menahan agar dirinya tidak menangis. Untuk apa menangis? Semua ini memang bukan salahnya. Jika ia bisa mengulangi waktu dimasalalu. Maka ia akan lebih memilih untuk mati.

         Andai ia tidak takut dengan gelap waktu itu. Mungkin Ibu dan saudara kembarnya tidak akan meninggal. Butiran bening lagi-lagi mengalir dengan derasnya. Sekarang, Aril tidak mampu menahan dirinya lagi untuk berduka, untuk kesekian kalinya.


***

           Saat itu adalah liburan semesteran. Setelah liburan ini, Aril dan saudara kembarnya, Irul, akan memasuki semester kedua dari kelas satu SMP. Seperti biasanya keluarga kecil mereka selalu pergi liburan ke tempat yang tidak terlalu banyak yang mengunjungi. Mereka melakukan liburan ini sudah sejak lama. Mungkin, kira-kira saat Aril masih duduk di bangku TK. Tapi kali ini ia dan keluarga kecilnya sudah berencana akan pergi kesuatu pantai yang pelosok. 

           Saat itu Aril dan Irul kecil suka sekali dengan pantai. Hanya saja mereka sama-sama tidak bisa berenang. Jadi mereka hanya mengagumi dari bibir pantai. Irul bahkan suka sekali memotret pantai setiap kali mereka berkunjung kesana. Irul juga tumbuh menjadi anak yang keren, suka bergaul, banyak teman dan terkenal. Meski otaknya standar, itu tidak membuat kepopuleranya berkurang.

           Berbeda dengan Aril. Aril sangat lugu, polos dan cupu. Seorang kutu buku yang culun dan tidak mempunyai teman. Tapi, Aril tidak berkecil hati. Justru dengan dirinya tidak mempunyai teman, malah menambah fokusnya ke mata pelajaran. Bukan hanya memikirkan soal bermain dan bermain.

         Saat itu, setelah asik bermain dengan air pantai, mereka berteduh dibawah pohon waru yang tumbuh liar di pinggir pantai. Orang tua mereka sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk mereka, disebuah warung kecil di pinggir pantai.

Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kemudian Irul mulai berbicara dan memecah keheningan diantara mereka.

"Ril..." panggil Irul tanpa menoleh pada Aril.

"Hem.. apa Rul?" Sahut Aril.

"Kau pernah menyukai seorang gadis?" Ujar Irul sambil terus membidikan kameranya.

Aril yang sedang membaca buku pun tidak bergeming dengan aktivitasnya. "Tidak. Memangnya kenapa?"

"Kau tau, aku kemarin menabrak seorang gadis yang manis."

SIMPLE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang