BAB 11

31 2 0
                                    

          langit mendung hari ini. Hanya ada gemercik suara tetesan air hujan. Angin berhembus kencang diluar sana. Seseorang memandang malas tetesan air dari dalam kamarnya. Wajahnya kusut kusam. Rambutnya  yang berantakan berkilau dibawah sinar lampu kamarnya. Terduduk di sofa empuk berwarna merah disamping kanan pintu kaca besar. Kaca itu tembus keluar kamar. Ada kebun kecil di samping kamar. Kebun buatan di lantai dua. Dengan kolam, bunga dan rumput asli yang tumbuh subur. Tak luput disamping kanan dan kiri pintu kaca besar itu, terselampir korden berwarna abu-abu.

           Entah mengapa, siang hari ini ia tak merasa takut akan gelapnya awan hitam yang menutupi sinar mentari. Secercik pun tak ada sinar yang menerangi. Benar-benar tertutup awan. Hanya ada cahaya remang-remang dari balik awan. Ia sangat merindukan sang mentari. Sangat rindu. Ia menanti dari pagi hingga siang hari seperti sekarang, hanya menunggu sang raja siang. Namun apa yang terjadi? Awan hitam ke abu-abuan menutupinya sedari tadi. Sekarang ia tidak tau harus berbuat apa. Tak ada yang bisa ia lakukan bila hari terus hujan.

            Di hari libur seperti ini biasanya Aril akan berlatih basket di lapangan terbuka. Karna itu akan membuatnya lebih bersemangat. Kulitnya yang putih meski terpapar sinar matahari tidak akan membuatnya jadi hitam. Bisa dibilang sangat menguntungkan sekali untuknya.

            Aril kini memalingkan pandangannya ke dalam ruang kamarnya. Tampak indah dan rapi. Tertata rapi beberapa piala di lemari khusus piala yang pernah ia juarai dibidang olahraga basket. Lembaran-lembaran piagam ia simpan di laci lemari pialanya. Ranjangnya berserprei putih dengan bantal merah dan berselimut merah. Diatas ranjangnya terdapat pernak-pernik tentang basket, yang tertata rapi disebuah papan yang disanggah oleh kawat yang tebal. Di samping kiri ranjang terdapat meja kecil dengan jam beker, lampu tidur, dan foto dirinya -saat masih kecil, Ibu, Ayahnya dan seorang anak laki-laki berwajah mirip Aril, saat berkunjung untuk pertama kalinya di pertandingan basket. Itu pertama kali ibunya mengenalkan basket kepada dirinya. Aril masih ingat dengan memory sewaktu ia kecil. Kamarnya yang luas membuat rasa nyaman ketika ia beristirahat dikamarnya sendiri.

            Sebenarnya ia takut untuk tidur dalam keadaan gelap. Jadi ia memutuskan untuk menghidupkan lampu kamarnya meskipun sudah ada lampu tidur di sampingnya. Aril mengakui bahwa lampu tidur itu hanya digunakan untuk pajangan saja. Jikalau suatu hari nanti ia tidak takut lagi dengan kegelapan. Ia akan menyalakannya.

"LALAN!!!"

Suara yang nyaring dan memecah telinga itu menuju kearah kamarnya. Terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga.
Aril sudah bisa menebak siapa yang berjalan kearahnya itu. Siapa lagi kalau bukan sepupunya Rysta.

"Lalan ayo cepat makan! Kalau tidak aku akan menghajarmu!"

Benarkan!, pikir Aril. Gadis itu memang menyusahkan. Sudah Aril bilang untuk tidak datang ke rumah. Ternyata ia ngotot sekali datang kerumah. Menginap pula lagi.

"Hahh.. Aku tidak mengerti jalan pikir anak itu." kata Aril.

"Lalan ayo cepat makan! La-"

"Apa?"

"-lan." Cherrysta tertegun di ambang pintu, melihat sepupunya itu hanya terduduk di sofa nyaman dan empuk disamping kanan ranjangnya didekat pintu kaca. Sedangkan dirinya yang berteriak sedari tadi tidak disahutnya.

"Apa?" ulang Aril.

"Makan! Sekarang! Turun! Dan kalau tidak aku akan mengahajarmu!" ancam Cherry.

Aril hanya memandangnya datar. Seakan itu bukanlah peritah untuknya. Bahkan ia tak menganggap Cherry berbicara padanya. Sedangkan Cherry yang dipandang Aril seperti itu terus geram dibuatnya.

SIMPLE LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang