Part 2 - Afterglow

241 12 6
                                    


Lorong kelas para murid tahun keenam tampak ricuh seperti biasanya. Menjadi yang tahun kedua yang tersenior di akademi membuat mereka memiliki keberanian lebih, termasuk untuk berinteraksi dengan kakak senior mereka yakni siswa-siswa tahun ketujuh. Memang, di Alpha, sejak masih berada di akademi, ditanamkan untuk menghargai orang lain sebagai manusia; penghargaan lebih tentunya akan diberikan untuk orang yang lebih pintar atau lebih kuat. Menjadi senior hanya berarti mereka sudah belajar terlebih dahulu- tidak ada yang spesial dari itu. Tidak ada kata senioritas di sini.

Walaupun terkadang, ketiadaan senioritas itu membuat beberapa orang senior harus berjuang untuk dihargai.

'Harusnya aku mempertahankan image itu,' pikir Leo dalam hati sementara pemuda itu hanya bisa menghela napas melihat deretan junior-juniornya yang menatapnya lekat sembari menyemangatinya.

"Lawan, lawan!"

Mereka memaksanya untuk melawan Hubert Alford, sang putra Presiden, sekaligus sahabat baik dari gadis yang ia sukai. Hal inilah yang menjadi penyesalannya; harusnya ia tetap setia membiarkan image senior yang tenang dan dingin itu melekat pada dirinya, namun image itu lambat laun meluntur terlebih semenjak ia mengenal Camellia, yang sekarang ini jelas tidak habis pikir kenapa sahabatnya dan orang-yang-memiliki-sesuatu-dengannya ini selalu saja cekcok hanya karena alasan-alasan sepele.

Kelas biomedik dasar –yang wajib diambil oleh semua siswa tidak peduli ia seorang calon petarung atau ilmuwan- baru saja berakhir. Camellia ingin segera pergi meninggalkan tempat itu menuju lapangan di mana kelasnya berikutnya bertempat satu jam lagi, namun keberadaan dua mahluk ini bahkan membuatnya tidak bisa bangun dari tempat duduknya.

"Sebagai senior harusnya kau mengerti betapa krusialnya ujian Biomedik dasar kami minggu depan, dan lebih penting untuk Lia belajar bersama dengan kami ketimbang kencan denganmu, Kak Lawrence," ujar Hubert tidak mau kalah.

Argumen lain kembali sang senior lemparkan, "sebagai senior pula, aku bisa mengajari lebih banyak hal tentang Biomedik Dasar ketimbang dirimu, Hubert Alford." Dan lagi, sebagai siswa dengan nilai akademis kedua terbaik di angkatannya, Leo punya kepercayaan diri untuk ini.

"Nilai akademis yang baik tidak menjamin kemampuan mengajarmu, Kak. Buktinya, justru Kak Ainsworth yang menjadi asisten Professor-

"Hentikan, kalian berdua." Lia mau tidak mau angkat suara sebelum kakak senior kesayangannya ini terkena serangan jantung karena ulah Hubert. Gadis itu menghela napas; sembari berdiri dan menyelempangkan tasnya di bahu, ia menatap sahabatnya itu. "Kita bisa belajar dari pagi kan, Hubert? Kurasa kita hanya perlu waktu sampai jam tiga sore."

Yang berarti ia punya cukup waktu untuk Leo.

"Lia, kenapa kau malah memprioritaskan kak Lawrence sih!?"

Dituduh seperti itu, ia menjadi salah tingkah memang, suara Camellia meninggi. "Aku tidak memprioritaskannya-

Leonel melipat tangannya, mendengus geli. "Heh, kau pikir kau siapa ingin diprioritaskan, Alford?"

Sorak-sorai dari siswa-siswa lain masih terus menambah kegaduhan di kelas itu, sampai tiba-tiba salah satu kelas yang berada di paling ujung menjadi hening. Keheningan itu seolah menjadi sinyal bagi kelas lainnya untuk menghentikan kegaduhan. Bukan sang kepala sekolah ataupun guru, namun sosok senior mereka inilah yang mampu memancarkan aura semembunuh ini. Siapa lagi kalau bukan Blaire Ainsworth, asisten Professor Hale yang bertugas mengajar Analisis Regresi setiap hari Senin dan Kamis? Masalahnya, hari ini bukanlah hari Senin ataupun Kamis.

Mata Hubert melebar kaget. Dengan panik ia menoleh ke arah jam digital di dinding kelas di mana 12:08 p.m tertulis dan seketika itu pula ia merasa jantungnya berhenti berdetak. Keringat dingin bercucuran dari keningnya. Astaga. Ia melupakan waktu latihannya. Pemuda itu lantas berlari menuju pintu kelas, hanya untuk berhenti tepat di hadapan seniornya itu.

AmaranthineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang