Part 16 - Amaranthine

79 9 1
                                    


Amaranthine

(adj.) a deep purple-red

(adj.) undying, immortal, eternally beautiful.

.

.

Langkah-langkah ragu Leonel ambil mendekati sosok yang tergeletak itu dan ia meringis ngeri ketika menyadari ketidakberadaan kepala dari tubuh itu. Kali ini ia melangkah mundur, menjauhi genangan darah yang hampir saja menyapa sepatunya. Suara berisik di luar sana sepertinya sudah mulai berkurang, pertanda pertumpahan darah akan segera berakhir.

Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Pemuda segera beranjak pula. Tujuan utamanya berada di tempat ini adalah untuk mencari surpressor Camellia; ia tidak bisa membuang banyak waktu. Entah bagaimana keadaan kekasihnya itu sekarang; bagus kalau ia sedang stabil. Kalau ternyata tidak?

Leonel, separu berlari, keluar ke arah lorong. Beberapa kali ia harus mengambil langkah agak besar, melangkahi mereka yang entah masih hidup atau tidak, yang tergeletak tak bergerak di tanah. Pemuda itu menyipitkan matanya; bukan karena ia tidak nyaman, namun heran karena entah sejak kapan ia menjadi begitu terbiasa dengan tubuh bergelimpangan.

Sekarang ia mengerti mengapa pelajaran sejarah di akademi mengatakan perang meninggalkan trauma bagi mereka yang menjadi saksi.

Manik gelap pemuda itu fokus ke bawah, memperhatikan tiap langkahnya, sampai deru lari seseorang mendekat ke arahnya terdengar dan membuat pemuda itu mendongakkan kepalanya.

"Leo!"

Maniknya kini terbelalak. Kenapa? Kenapa gadis itu ada di sini, padahal seharusnya ia berada di markas?

"Lia! Apa yang kau lakukan di sini!?"

Ia separuh belari menyusul gadis itu dan menyambutnya dengan sebuah pelukan. Pemuda itu melingkarkan tangannya di pinggang sang gadis dan memeluknya erat, sangat erat. Kapan terakhir kali ia mendengar suara gadis ini? Ia tidak ingat. Setelah sekian lama tidak bertemu, mereka membawa Camellia kembali dalam keadaan sekarat, tidak sadarkan diri, dan malam yang ia lewati hanya dengan memandangi gadis itu tanpa mampu bebuat apapun begitu menyiksa.

Dan kini ia berada di sini; seolah menjadi dewi penyelamat untuknya di tengah medan perang. Tidak ada kata yang bisa menjelaskan betapa lega perasaannya mendapati gadis itu di sana, berdiri, tersenyum lembut padanya seolah segala kegelapan yang berada di sekitar mereka sirna begitu saja.

Camellianya.

Bahkan seribu ciuman pun tidak mampu untuk mengutarakan betapa ia merindukan dan mencintai sang gadis. Berulang kali ia mencium bibirnya, mengecup keningnya penuh afeksi. Camellia pun membalasnya, dengan memeluk pemuda itu tidak kalah erat.

"Bodoh.... Kenapa kau kemari?" erang Leo pelan, sambil terus mengusap lembut kepala gadis itu. Tidak untuk sedetikpun pandangannya terlepas dari sosok sang Camellia.

"Hubert bilang kau pergi untuk mendapatkan serum itu! Jangan seenaknya sendiri, Leo! Aku tidak mau sampai kau harus mempertaruhkan nyawa untukku!" terisak, dan untuk pertama kalinya Camellia meninggikan suaranya pada seniornya itu. Air mata tidak lagi terbendung, melainkan menetes dari pelupuk matanya.

Dan untuk beberapa menit, biarlah keheningan yang mengisi dan meredakan ledakan emosi masing-masing. Leonel membungkukkan tubuhnya, membiarkan keningnya dan kening sang gadis bersentuhan, dan kemudian puncak hidungnya sehingga hanya terpaut jarak beberapa senti di antara bibir mereka. Hembusan napas masing-masing seolah menjadi nyawa untuk yang lainnya, mendakan bahwa ia yang berdiri di hadapannya masih hidup.

AmaranthineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang