"Aku mencintaimu, Blaire. Sekarang, selamanya."
Entah darimana ia bisa mengumpulkan tenaganya, agar sebelah tangannya mampu terulur dan meraih pipi sang pemuda meskipun tangannya kini telah kotor bersimbah darahnya sendiri. Ia membelai pipinya sementara kedua maniknya yang tak selaras menatap lembut sosok pemuda itu. Pandangannya memang sudah kabur, namun ia ingin Ravi tahu bahwa pemuda itulah hal terakhir yang ia lihat di muka bumi ini.
"Ravi...."
Baik tindakannya, maupun kalimat terakhir yang wanita itu utarakan, tidak pernah sekalipun terbesit di dalam benaknya akan ia ucapkan.
"Aku tidak pernah membencimu."
Kesadarannya sudah jauh berada di ambang wajar, namun Blaire tahu sel-sel mutannya lah yang membuatnya bertahan. Ia memang tidak lagi merasakan sakit pada fisiknya, namun ia masih bisa merasakan lingkungan; suara, dan ketika kakinya mendarat di tanah. Ravi tampaknya memutuskan untuk berlutut sehingga tubuhny kini separuh terbaring di tanah
Awalnya, Blaire mengira suara langkah kaki yang mendekat ke arah mereka hanyalah halusinya belaka.
Nyatanya, tidak demikian. Ravi yang sedari tadi tidak melepaskan taringnya dari lehernya dan terus menghisap setiap mililiter darah yang mengalir di dalam nadinya, seketika berhenti. Cara berhentinya pun begitu mendadak, dan tubuh pemuda yang cenderung lebih besar darinya itu pun ambruk.
Perdarahannya tidak kunjung berhenti, namun dengan sisa tenaganya, Blaire berusaha menekan luka di perutnya untuk menghentikan aliran darah tersebut. Belum lagi luka gigitan di lehernya yang baru saja Ravi buat-
Ia punya keinginan untuk hidup, namun tidak semata-mata membuatnya melupakan keadaan Ravi. Ia berusaha untuk memfokuskan pengelihatannya; Ravi tampak masih terkapar di sisinya, dan sosok seorang pemuda bertubuh tinggi berdiri di dekat mereka.
"....Hubert?"
Blaire kembali menyipitkan matanya untuk memfokuskan pengelihatannya, namun yang ada justru vertigo menghantam kepalanya membuat segalanya seolah berputar. Untuk beberapa detik ia sempat melihat apa yang berada dalam tangan sang pemuda; sebuah suntikan dengan sisa-sisa adesi cairan berwarna merah pada dinding-dindingnya.
Hubert berjongkok, dan kemudian mengangkat tubuh ringkih sang Chiquita ke dalam gendongannya dengan hati-hati. "Aku curiga dengan gelagatnya, sehingga aku memutuskan untuk mengikutinya kemari, Blaire."
"...." Blaire membiarkan kepalanya bersandar di pundah pemuda itu- ia terlalu lelah; jangankan untuk merespon, ia ingin segera kembali memejamkan matanya. Lelah, tubuhnya terasa sangat lelah dan berat. Ia bahkan heran bagaimana juniornya itu bisa mengangkatnya dengan mudah.
"Kita harus membereskan dirimu dulu."
Entah sejak kapan juniornya ini bisa bertingkah seolah-olah ia lebih tahu ketimbang dirinya. Entahlah; mungkin dua tahun ini telah mendewasakan sang pemuda secara drastis. Terlalu banyak yang terjadi pada mereka, bukan begitu? Blaire mengangguk pelan sebagai respon, membiarkan Hubert membawanya pergi dari sana.
.
.
Pembentukan katup jantung sudah sempurna. Denyut jantung normal. Aktivitas otaknya juga terpantau stabil.
"Hei, Noir. Ini saatnya untuk bangun."
Suara Blaire kali ini terdengar lebih nyata dari apa yang biasa ia dengar. Wanita itu tersenyum ke arahnya dengan begitu manis, begitu tulus. Ia belum pernah melihat Blaire tersenyum selepas itu sebelumnya; tidak sepanjang ia mengenal wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine
Ciencia FicciónDi masa depan, percobaan pada manusia terus dilakukan demi menciptakan ras manusia yang lebih baik dari sebelumnya; lebih cerdas, lebih kuat, tahan terhadap berbagai penyakit, atau bahkan hidup abadi. Sebagai seorang Alpha, Blaire hanya menginginkan...