Senandung lembut dari suara wanita itu perlahan menariknya keluar dari alam bawah sadar. Pria bersurai gelap itu menerjapkan matanya beberapa kali ketika terik matahari menyambutnya. Ia tidak tahu ada cuaca yang sedemikian sempurna di muka bumi ini, ketika matahari bersinar terang namun teriknya tidak membakar kulitnya. Angin berhembus lembut, begitu sejuk dan melegakan.
Pemuda itu berdiri dan menatap sekelilingnya. Rumput-rumput seolah menari dengan anggun mengikuti alunan hembusan angin demikian dengan pohon yang dahan-dahannya berusaha untuk bertahan agar tidak goyah. Suara angin, desir suara air mengalir entah dari mana, dan senandung wanita itu bercampur menjadi sebuah simfoni yang menenangkan segala kepenatan di dalam pikirannya.
Seolah, ada beban berat yang baru saja ia tinggalkan.
Langkahnya terasa begitu ringan. Kaki-kakinya membawanya pada sang wanita meskipun ia tidak tahu di mana ia berada; hanya mengandalkan suara di tengah padang rumput yang seluas ini adalah pekerjaan yang sulit.
Wanita itu ada di sana, duduk di atas hamparan rumput, dalam balutan gaun berwarna putih gading. Rambutnya yang berwarna cokelat keabuan dibiarkan tergerai- memang, seingatnya, rambut Blaire tidak sepanjang ini awalnya. Mungkin ia sudah melewatkan terlalu banyak waktu.
"Blaire," panggilnya pelan.
Senandung itu berhenti terdengar. Wanita itu menoleh, dan sebuah senyum yang paling lembut yang pernah ia lihat terlengkung di bibirnya. "Aku sudah menunggumu, Noir."
Sepasang manik tak selaras itu mengingatkan Noir akan keadaan mereka; lantas, ia segera memeriksa keadaannya sendiri. Kedua matanya ada di sana.
Apa yang terjadi?
Pria itu membalas senyumannya. Lantas ia kembali duduk, kali ini di sisi wanita itu. Hal pertama yang ia lakukan adalah meraih tangan sang wanita, menautkan jari-jari mereka, dan memeganginya di dalam tangannya sendiri.
"Aku sudah membuatmu menunggu terlalu lama, ya?"
"Agak," jawab wanita itu, terkekeh.
Mereka saling bertatapan. Ketika tidak ada lagi kata yang bisa terucap, maka sebuah ciumanlah yang menjadi perantara mereka. Ciuman itu penuh afeksi, penuh dengan perasaan terpendam yang sudah lama ingin diutarakan.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan."
"Hm?"
"Maaf, aku harus pergi mendahuluimu."
"Apa-"
Jemari telunjuk wanita itu mencegahnya untuk berkata lebih banyak.
"Dalam setiap kehidupan, aku akan selalu mencintaimu." Wanita itu mengatakan kalimat itu sembari menatapnya lekat-lekat, dan ekspresi itu begitu mengena untuk Noir. Blaire tampak merasa bersalah atas sesuatu yang Noir tidak tahu apa. "Sekarang, pejamkan matamu."
Noir tahu tidak seharusnya ia melakukannya, namun ia menurut.
Mata itu terpejam. Jantungnya berdegup lebih keras ketika ia kembali merasakan bibir wanita itu kembali menciumnya. Ciuman itu terlalu dalam, terlalu singkat- seperti mengatakan bahwa ia tidak punya banyak waktu, dan itulah ciuman terakhir mereka.
"Maafkan aku."
Tangan wanita itu membawa salah satu tangannya ke dada kiri sang wanita, sementara tangan lain sang wanita berada di atas dadanya; jantungnya. Ia ingin memberitahunya bahwa mereka berdua masih hidup- bukan. Ia ingin memberitahunya bahwa selama satu masih hidup,maka yang lainnya akan terus hidup bersamanya.
"Teruslah hidup meskipun bukan untukku."
Kalimat itu adalah penanda bahwa ia harus segera membuka matanya. Sialnya, ia terlambat. Sosok Blaire telah menghilang, meninggalkannya sendiri di tengah kekosongan padang rumput itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Amaranthine
Ciencia FicciónDi masa depan, percobaan pada manusia terus dilakukan demi menciptakan ras manusia yang lebih baik dari sebelumnya; lebih cerdas, lebih kuat, tahan terhadap berbagai penyakit, atau bahkan hidup abadi. Sebagai seorang Alpha, Blaire hanya menginginkan...